MENELUSURI
JEJAK RIWAYAT
LEBAKWANGI-BATUKARUT
Sejarah Telaga
Bandung
Terkisah
cerita di jaman dahulu bahwa wilayah Sunda keberadaannya tidak seperti masa
kini, dulu berupa daratan yang kenal dengan nama “Daratan Sunda” yang keadaanya masih berbentuk hamparan, di ujung
sebelah utara dibatasi lautan yang berbatasan dengan daratan Melayu, ujung
Timur batasnya Nusa Ireng. Konon di
daratan sunda terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi, melebihi tingginya
Gunung Himalaya, yang disebut “Gunung Sunda”.
Pada suatu waktu gunung tersebut meletus dan terjadi hanya dalam satu
ledakan, yang mengakibatkan bencana alam yang dahsyat dan kerusakan berat,
akibat terjadinya gunung meletus menimbulkan gempa, bahkan tanah banyak yang
mengalami gempa tektonik, ombak laut banyak yang menyemburkan airnya ke daratan,
tanah-tanah yang mengalami gempa tektonik menjadi terendam oleh air laut.
Sesudah gunung tersebut meletus
yang tinggal hanya beberapa suku gunung yang sekarang berubah menjadi
gunung-gunung seperti : Bukit tunggul, Burangrang, Tangkuban parahu, Kancana,
Papandayan, Waringin, Wayang, Malabar, Patuha, dan Gunung Apu Padalarang. Setelah kawahnya tidak aktif lagi keadaan disana
berubah menjadi subuah telaga yang amat besar (telaga raksasa) yang panjangnya
dari Timur ke Barat sekira 60 km dan lebarnya dari Utara ke Selatan sekira 15
Km, Telaga raksasa tersebut dinamakan “Talaga Bandung” atau ada juga yang
menamakan “Talaga Hiang”, menurut kepercayaan pada saat itu manusia yang telah
meninggal, arwahnya “ngahiang” dan berkumpul di talaga tersebut. Jadi dikatakan juga talaga tersebut tempat
para hiang atau tempat mahluk halus, dan akhirnya di daerah itu disebut “Parahiangan”.
Pada suatu ketika, air telaga ini meresap ke dalam
bumi melalui Gua Air Sanghiang Tikoro, di Rajamandala, Padalarang. Karena tersedot bumi, lama kelamaan telaga
itu menjadi sebuah daratan rendah dan menjadi rawa, yang sekarang disebut
“Bandung” atau sebelumnya disebut “Parahiangan” atau “Priangan”.
Terkisah
cerita, datanglah rombongan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang dipimpin oleh seseorang, rombongan itu bermaksud mencari daerah untuk
tempat pemukiman tetap, rombongan tersebut berasal dari sebelah Timur, menurut
sesepuh Lebakwangi kemungkinan rombongan tersebut berasal dari Galuh. Dan akhirnya rombongan menuju ke pinggir
talaga di sebelah selatan yang tidak curam tetapi melebar. Selain dari pimpinan rombongan terdapat 4 orang
yang dipercayai oleh pimpinan rombongan, keempat orang tersebut diberi tugas
untuk meneliti daerah itu, apakah cocok atau tidak untuk dijadikan tempat
tinggal/pemukiman. Adapun
pertimbangannya antara lain : tidak jauh dari telaga, ada sungai kecil yang
airnya mengalir ke talaga itu, dan tanahnya subur karena bekas gunung meletus. Akhirnya menemukan pada suatu tempat yang
cocok, kebetulan disitu ada sebuah pohon “Tanjung” yang besar yang sedang berbunga
wanginya tercium kemana-mana. Dan sejak
itulah tempat itu diberinama “Tanjung Wangi”.
Karena letaknya di “Lebak”
(daratan rendah) oleh generasi berikutnya tempat terbut diberi nama “ Lebak Wangi”.
Ketika sedang berjalan proses
penebangan hutan, tidak heran banyak hewan liar besar dan kecil pada
berhamburan ketakutan, menjauhi, dan mereka tidak menggangu manusia, maklumlah
yang menebang hutan dipimpin oleh ahli bersemedi. Tapi walau bagaimanapun juga yang namanya
hutan tetap hutan dan sudah pasti ada hewan yang merasa terusik keberadaannya,
seperti yang dikisahkan bahwa di daerah “Pasir Wangi”, terkisah ada salah satu binatang
yang aneh, tubuhnya besar, tinggi, dan buas,
bentuk tubuhnya dari bagian dada ke atas berupa binatang, dari bagian
dada ke bawah mirip manusia. Leluhur
Lebakwangi menyebutnya sebagai “Berhala”.
Binatang tersebut hampir menerkam Pimpinan Rombongan dan terjadilah
perkelahian antara “Berhala” tersebut dengan Pimpinan Rombongan. Saking serunya
perkelahian, banyak pepohonan yang rusak dan pada suatu ketika jari-jari tangan
binatang direnggut hingga kuku-kuku binatang tersebut yang tajam dan kuat
terkelupas berceceran, yang akhirnya berhala tersebut roboh seketika. Menurut Sesepuh Lebakwangi kuku-kuku tersebut
ada buktinya dan disebut “ Kuku Manik Ganda Rukmin”. Dan didaerah bekas hewan “Berhala” tersebut keluar
hulu air dan diberi nama Cijadi (Cijanten). Dinamakan Cijadi karena jadi untuk
pemukiman, tetapi kalau hewan buas dan
perkasa itu tidak bisa ditaklukkan, maka besar kemungkinan tempat itu
batal (tidak jadi) dijadikan tempat pemukiman.
Khalayak ramai sekarang menyebutnya “Cijanten”.
Kisah
nama Cikabuyutan dan Citalutug
Terkisah rombongan yang membuat
pemukiman sudah menata lingkungan dan membangun rumah-rumah kecil yang manis,
dalam menatanya begitu baik, permukaan tanah dihampar oleh batu-batuan. Yang ditempati oleh Pimpinan rombongan
ditata sedemikian teratur, bahkan sungai yang mengalir ke talaga dibelokkan
sebagian agar melewati ke permukiman untuk kehidupan sehari-hari, dan sekarang
terkenal dengan nama “Cikabuyutan”,
sedangkan sungai yang dibelokkan berada di belakang permukiman diberi nama “Citalutug” (talutug artinya yang
memperkokoh pemantar, sejenis patok bambu).
Diberi nama Citalutug bertujuan untuk memperkokoh permukiman jangan
sampai goncang.
Lama kelamaan masyarakat semakin
berkembang sehingga mendorong untuk dibentuknya beberapa pemimpin yang mengatur
rakyatnya dalam berbagai urusan, pemimpin disini oleh rakyatnya disebut
“Petinggi yang dipercaya”, maka terbentuklah sebagai berikut :
- Embah Lurah Sutadikusumah ; yang bertugas dalam bidang kesejahteraan rakyat. jadi Lurah disini artinya pembimbing.
- Embah Wira Sutadikusumah ; bertugas menjaga keamanan, baik keamanan dari luar maupun di dalam masyarakat.
- Embah Patrakusumah; bertugas mengelola kesenian dan kebudayaan
- Embah Aji Kalangsumitra ; bertugas mengelola bidang hukum/peradilan.
Sedangkan Pimpinan Rombongan
adalah bernama “Embah Panggung Jayadikusumah”, bertindak sebagai Pimpinan
tertinggi atau bisa dibilang sebagai Raja. Para pemimpin atau petinggi tersebut suka
mengajarkan ilmu agar dalam kehidupan sehari-hari mendapat keselamatan,
kebahagiaan, dan kalau sudah waktunya berpulang meninggalkan dunia mendapat
tempat disisiNya.
Kehidupan disana rukun, tidak
pernah ada yang saling menuduh atau saling menyalahkan, sangat patuh kepada apa
yang dikatakan Pemimpin, dan iman serta taqwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Hidupnya aman, tenteram, subur makmur, gemah
ripah loh jinawi, repeh rapih, hurip gusti waras abdi.
Pada waktu itu tempat
permukiman tersebut bisa juga dikatakan sebagai sebuah kerajaan kecil, orang
tua menyebutnya tempat tersebut yaitu “Kerajaan Tanjung Wangi” atau “ Lebakwangi”.
Masyarakat pada saat itu
Kehidupannya makin lama makin maju/berkembang sampai termasyur ke daerah-daerah
yang jauh. Dari masa ke masa jumlah
penduduknya terus berkembang sehingga wilayahnyapun menjadi luas (sekarang
disebut : Batukarut, Baros, Bojongmanggu, Cikupa, Pameungpeuk, Baleendah,
Dayeuhkolot, Banjaran).
Riwayat
Gamelan Embah Bandong
Terkisah Pada suatu waktu Sang
Raja Tanjung Wangi Embah Panggung Jayadikusumah didampingi oleh 4 orang
kepercayaannya sengaja meluangkan waktu untuk memeriksa ke
kampung-kampung. Sampai ke suatu
tiba-tiba keheranan manakala melihat ada sebidang tanah hunyur (bukit
kecil di tanah dataran). Didorong penglihatan mata bathinnya yang tajam, Embah
Panggung Jayadikusumah merasakan ada sesuatu di dalamnya. Maka, segeralah
beliau memerintahkan para Kepercayaannya
dengan dibantu warga sekitar untuk menggali tanah hunyur tersebut.
Upaya penggalian tanah hunyur
pun segera dilakukan dengan memakan waktu sampai berhari-hari sampai pada akhirnya
ditemukan seperangkat barang yang telah terbungkus tanah cukup tebal. Karena
rasa penasaran, perangkat barang itu pun dibersihkan hampir selama 2 bulan.
Ternyata barang yang ditemukan itu berupa seperangkat gamelan, terdiri dari 2
buah goong besar, bonang, rincik, saron, kecrek, beri dan barang-barang
lainnya.
Perangkat gamelan yang masih
utuh itu, setelah dicoba oleh ahlinya ternyata masih dapat difungsikan. Sejak
itulah gamelan tersebut dijadikan tetabuhan mandiri bagi Kabuyutan Lebakwangi
dan dijadikan barang pusaka yang terus dipelihara hingga sampai kini. Sesuai
dengan jumlah 2 goong yang yang posisinya berdampingan atau bandong,
kemudian perangkat gamelan pun diberi nama Gamelan Embah Bandong.
Konon
setelah ditemukannya gamelan tersebut, ditempat itu keluar mata air yang
jernih, dan oleh Sang Raja tempat itu diberi nama “Cilurung”, bisa jadi kata
Cilurung berasal dari bahasa Jawa/Kawi yang mengandung arti “ jalan kecil
diantara jalan besar, karena pada kenyataannya demikian keadaannya.
Gamelan
Embah Bandong bukan semata-mata alat
hiburan saja, melainkan juga sebagai barang pusaka, maka dalam penggunaannyapun
tidak sembarangan, gamelan tersebut hanya dimainkan setauh sekali pada setiap
tanggal 14 Mulud dalam rangka memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW,
atau pada upacara-upacara kenegaraan, serta upacara selamatan adat seperti :
pernikahan dan sunatan. Selain dari
kegiatan tersebut tidak diperbolehkan untuk dimainkan. Menurut cerita Sesepuh dulu Gamelan Embah
bandong ini pernah dimainkan pada setiap acara pelantikan Bupati, diantaranya
Bupati Bandung pertama, Tumenggung Wira Angun Angun pada tahun 1641 – 1681,
Bupati ke dua s/d Bupati ke 14 pada tahun 1947.
Tata
cara memainkan (menabuh) Gamelanpun agak berbeda dengan gamelan sekarang,
memainkan Gamelan Embang Bandong diawali dengan dipukulnya 2 Gong besar dulu,
lalu diikuti dengan gamelan lainnya.
Lagu-lagu
yang biasa dimainkan oleh Gamelan Embah Bandong “jejerna” ada 17 lagu, yaitu :
Sodor, Seseregan, Ganggong, Gonjing patala, Asmarandana, Pangkur, Maleber,
Pucung lingkup, Boyong, Galumpit, Magatru, Papandanan, Bujang anom,
Angin-angin, Bango, Galatik nunut dan Joher.
Putra
Mahkota Kerajaan Banten berguru ke Tanjung Wangi
Terkisah di wilayah barat yaitu
daerah Banten, ada suatu kerajaan kecil, Rajanya mempunyai putra lelaki yang
akan menggantikan raja (Putra Mahkota).
Pemuda yang dalam keadaan “buta
tulang buta daging” menyadari bahwa dirinya kelak dikemudian hari akan
menggantikan raja, mengelola negara, ia senantiasa mempersiapkan diri sejak
dini mencari ilmu dan pengalaman, para pemilik ilmu didatanginya, bahkan sering
berpuasa sambil bertapa di tempat yang dianggap berkeramat, tafakur dan
bersemedi kepada Yang Mahasuci untuk mendapat ilham.
Sang Pemuda merasa dirinya
sudah penuh ilmu bahkan menurut cerita tak ada seorangpun yang berani
melawannya, ia sangat kuat, tubuhnya tak mempan kena tusukan senjata apapun,
sehingga ia berkeliling mengembara ke daerah-daerah lain, melewati
gunung-gunung untuk mencari lawan, dan ia bilang bahwa ia belum pernah melihat
darahnya sendiri, ia ingin melihat darahnya sendiri.
Konon pada suatu waktu disaat
ia sedang bersemedi di suatu gunung (menurut cerita bersemedinya hingga belasan
tahun) terdengar ada suara gaib yang berisi petunjuk yaitu : “…seandainya kamu ingin melihat darahmu
sendiri, cepat kunjungi ke sebelah timur, disana akan bertemu dengan seorang
Raja yang Sakti Mandraguna, waspada permana tingal, dan orang itulah yang
pantas kamu jadikan sebagai Gurumu, guru lahir dan bathin, dunia dan akhirat…”.
Setelah menerima ilham tersebut
maka ia keluar dari pertapaannya, dan langsung menuju ke arah Timur melewati
gunung-gunung hingga pada akhirnya tiba di wilayah Kerajaan Tanjung Wangi.
Terkisah di daerah Tanjung
Wangi, petinggi di Tanjung Wangi tidak begitu heran ketika datangnya pemuda
tersebut, mengingat petinggi Tanjung wangi berilmu tinggi, sebenarnya ia sudah tahu
sebelumnya akan kedatangan pemuda tersebut.
Sang Pemuda memperkenalkan diri serta menyampaikan beberapa pertanyaan
kepada pribumi yang saat itu nampaknya sudah kelihatan kakek kakek. Kata Sang Pemuda : ” Kek, saya dari daerah Barat, nama saya Manggung Dikusumah, ini kampung
apa dan kalau negara, negara apa namanya, siapa rajanya dan bagaimana
kesaktiannya? “ Sang pribumi pun menjawab
dengan tenang : “ini perkampungan namanya Tanjung wangi, yang dipimpin oleh
seorang raja, yang berasal bukan dari golongan ningrat bukan juga dari rakyat
jelata, beliau bukan orang kuat juga bukan orang lemah, karena dibilang rakyat
jelata tapi dia keturunan ningrat, dibilang pinter tapi bodo, dibilang bodo
tapi ngerti, dibilang keras tapi lembek, kesemuanya itu tergantung orang yang
menyebutnya. Dengan jawaban Sang
pribumi demikian, Sang Pemuda atau yang bernama Manggung Jayadikusumah hatinya
merasa terpukul dan selanjutnya ia meminta diperkenalkan dengan Sang Raja. Sang pribumi menyanggupinya asalkan dengan
syarat harus bisa mengambil dulu mutiara yang ada di dasar Telaga Bandung.
Manggung Jayadikusumah
menyanggupinya dan langsung saat itu juga ia meloncat ke arah Talaga yang saat
itu tampak olehnya ada cahaya yang bersinar di sekitar Telaga, ia menyelam ke
dasar telaga untuk mengambil mutiara dimaksud.
Namun setiap ia mendekat ke arah mutiara tersebut, setiap itu pula
mutiaranya malah menjauh, sang pemuda terus berusaha mengejar-ngejar mutiara
tersebut namun belum berhasil ia dapatkan. Lama kelamaan itu mutiara berubah wujud
menjadi hewan “ Biul” sejodo (Biul = sejenis burung waliwis). Sama seperti tadi setiap ia mau
menangkapnya, kedua hewan tadi menjauhnya, demikian seterusnya sampai-sampai
itu air telaga yang semula jernih berubah menjadi keruh akibat “diubek-ubek” oleh Sang pemuda.
Begitulah berkali-kali
kejadiannya dan akhirnya sang pemuda merasa lemas tidak berhasil
mendapatkannya, akhirnya naik ke daratan, hatinya kecewa belum terlaksana yang
diinginkannya. Sambil merenung munculah
akal akan membuat “bandrong” (jala) untuk menangkap kedua hewan tadi. Sang pemuda bergegas mencari rotan yang ada
disekeliling talaga, tidak sulit mendapatkannya karena dihutan rotan banyak, lalu
menarik rotan (areuy) dan dibuatlah jala, sedangkan untuk bebannya diambilkan
batu-batu yang berserakan bekas gunung meletus.
Setelah selesai membuat jala, Biul yang sedang berenang langsung disergap,
kata hatinya hewan itu pasti dapat, begitu ditarik ternyata tidak
didapatkannya, demikian saja kerjanya sang pemuda tersebut berusaha menangkap
hewan Biul tersebut, sampai hewan biul pun menghilang. Nafsu amarahnya tak tertahankan merasa
dipermainkan oleh hewan kecil, sehingga ia lupa akan dirinya, jalanya dirusak dan
dilemparkannya sehingga berantakan, ada
yang jatuh didekatnya, juga yang jatuh jauh darinya. Konon
katanya tempat bekas batu jala yang terikat oleh akar (areuy) tersebut,
akhirnya diberi nama menjadi “Batukarut” yang asalnya dari “batu” yang
“dikarut” ( dikarut= diikat).
Kembali ke cerita tadi, setelah
sang pemuda melempar jalanya, ia lalu melihat ke arah telaga tadi sambil
terheran-heran karena ditempat menghilangnya biul tadi tiba-tiba muncul seorang
kakek dan nenek yang tiada lain Sang pribumi tadi. Betapa tambah marahnya sang Pemuda alias
Manggung Jayadikusumah, ia merasa dipermainkan oleh Sang kakek, sambil
menghampirinya lalu ia berkata sesumbar : “hai… aki-aki peot, kamu
mempermainkan saya, mentang-mentang kamu bisa berubah wujud, apa kamu kira aku
juga tidak bisa begitu, kalau begitu kamu mau menguji kesaktian saya, saya
tantang kamu untuk bertarung sengan saya, mau kapan ?, sekarangpun saya siap menghadapimu. Demikian sesumbarnya sang pemuda, yang kemudian dijawab oleh sang
pribumi : “Ya, baiklah kalau begitu, akan saya ladeni tantanganmu”.
Pertarungan antara kedua orang
tersebut berlangsung lama, maklum keduanya pada memiliki ilmu yang tinggi,
meskipun kalau dilihat dari sisi penampilan fisik agak berbeda, yang satu
remaja yang satu lagi kakek-kakek, tapi dalam hal ilmu “kanuragan” keduanya tidak jauh berbeda. Konon menurut cerita pertarungannya hingga 7
hari 7 malam, keduanya mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya, bahkan
pertarungan yang semula tangan kosong sudah berubah menjadi menggunakan senjata
masing-masing, tak heran banyak pepohonan yang tumbang tergilas oleh para
petarung, hewan-hewan pada berhamburan, demikian juga sering terdengar suara-suara
benturan senjata yang diiringi kilapan cahaya, hingga pada akhirnya pada hari
ke 7 tampak sang pribumi mulai terseret oleh sang pemuda, sampai pada suatu
saat ketika sang pribumi lengah, senjata sang pemuda melibas wajah sang pribumi
yang akhirnya menurut cerita pelipis sang pribumi tergores senjata hingga
berdarah. Dengan kondisi yang demikian
akhirnya sang pribumi berusaha banyak menghindar dari serangan-serangan sang
pemuda sambil mencari-cari tempat bersembunyi untuk memulihkan tenaga. Menurut cerita sang pribumi menemukan satu
tempat “saung” di suatu kebun yang ditempati oleh 2 orang kakek dan nenek
petani, lalu ia menghampirinya. Nenek
dan kakek tersebut merasa heran kedatangan tamu dari kalangan petinggi negara,
lalu ia menyambutnya sambil menyuguhkan makanan seadanya antara lain : air kopi
pahit dan ”beuleum cau kapas” di
taburi gula kawung.
Ringkas cerita atas berkat
pertolongan yang Mahakuasa, setelah memakan dan minum suguhan dari kakek dan
nenek tadi, sang tamu menjadi merasa pulih kembali tenaganya, malahan merasa
lebih segar bugar dibanding keadaan semula sebelum bertarung. Kakek dan nenek itu tidak tahu keadaan yang
sebenarnya bahwa sang tamu sebenarnya sedang bertarung memperebutkan nyawa,
karena memang sang tamu sangat bijaksana ia tidak mencerikan keadaan yang
sebenarnya. Sampai akhirnya sang tamu
berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya dan mengucapkan terima kasih kepada
kakek dan nenek tersebut.
Tempat kakek dan nenek tadi
sekarang dinamakan “Buni Sakti’ terletak di perbatasan Desa Lebakwangi dengan
Desa Bojongmanggu.
Kembali ke cerita tadi setelah
berpamitan sang tamu akhirnya kembali menemui sang pemuda untuk melanjutkan
lagi pertarungannya, dan terjadilah pertarungan yang makin sengit, namun dalam
kesempatan pertarungan ini tampak sang pribumi lebih unggul daripada sang
pemuda, sang pribumi tampak lebih gagah, bertenaga bagaikan banteng yang
mengamuk, pepohonan pada tumbang, bunyi senjata dan cahaya akibat benturan
senjata berkilauan, bumi serasa bergoyang saking serunya pertarungan tersebut. Ringkasnya cerita akhirnya sang pemuda
keteter sehingga ia terjatuh dipangkuan sang pribumi, sambil ia berkata : “ Nun pangersa sembaheun kula, tetela salira
teh luhung elmu jembar panalar, sugih ku pangarti, waspada permana tingal, raja
pinandita anu pantes ku kula dipiguru lahir bathin dunya akherat” sekarang
saya sudah bisa melihat darah sendiri akibat senjatamu, mohon kakek bersaksi
bahwa : “saya dan tujuh turunan saya bersumpah tidak akan berani melawan kakek
dan keturunannya, dimanapun berada, dan semoga bumi alam dapat menyaksikan pula
sumpah saya ini.
Ringkasnya cerita begitu
selesai sang pemuda mengucapkan sumpahnya tiba-tiba bumi bergetar, diiringi
bunyi petir di siang bolong, disertai angin kencang, dan kilat serta gemuruhnya
hujan turun. Ini pertanda bahwa bumi alam
dan sekelilingnya turut bersaksi atas sumpah pemuda tadi.
Sang pribumi menyampaikan kata
maaf kepada pemuda tadi atas segala kesalahan dan kehilafannya dan sang pribumi
mengatakan bahwa sejak saat ini sang pemuda sah/resmi diangkat menjadi
muridnya.
Menurut cerita sang pemuda yang
semula bernama Embah Manggung Dikusumah, diganti menjadi “Embah Bandrong
Bandung Bandang Wasa” yang memiliki
makna : “ Tina lalampahan ngagunakeun
heurap gede (bandrong), waktu ngaheurap biul di Talaga Bandung, terus kabandang
ku pangawasana kersa luluhur Tanjung wangi tug dugi ka akhir hayat”.
Ringkasnya cerita pada suatu
kesempatan sang pribumi yang tiada lain adalah raja Tanjung wangi Embah
Panggung Jayadikusumah menyampaikan amanat kepada ke 4 kepercayaannya, bahwa
senjata yang 5 macam itu bekas pertarungan dengan sang pemuda alias Embah
Manggung Dikusumah alias Embah Bandrong Bandung Bandang Wasa, segera
dibersihkan dan selanjutnya disimpan dengan cara dibungkus masing-masing
senjata dengan kain kafan sebanyak 5 rangkap, selanjutnya dari kelima senjata
tadi digabungkan dan dibungkus kembali dengan kain kafan sebanyak 7 rangkap,
dan terakhir diikat dengan 3 tali dari kain kafan tersebut masing-masing di
bagian ujung dan ujung serta di tengah-tengah, mirip seperti mengkafani mayat.
Dan sejak saat ini ke lima senjata itu jangan diapa-apakan lagi, simpan saja
sebagai bahan “guareun jeung lenyepaneun
seuweu siwi di akhir”. Dan tolong
terhadap pusaka yang satu ini yaitu “Sumbul” jangan pernah ada yang berani
membukanya, karena hanya orang yang “ Wawuh
di semuna nu suci galihna, nu setra manahna, nu rancage hatena nu bakal bisa
nerangkeun eusi eta Sumbul”.
Ringkasnya cerita setelah Mbah
Panggung Jayadikusumah menyampaikan amanatnya, beliau terus pindah ke Gunung
Anday untuk menyepi menghadap kepada yang Mahakuasa. Sedangkan yang dipercaya untuk mengurus
Rumah adat yang sekarang ada di Kabuyutan tersebut diserahkan kepada Embah
Manggung Dikusumah, ditemani oleh 4 orang kepercayaan Embah Panggung
Jayadikusumah. Oleh karena Embah Manggung
Dikusumah sudah dipercaya untuk merawat pusaka dan gamelan di Bumi Alit
Kabuyutan tadi, maka akhirnya Embah Manggung Jayadikusumah diberi gelar “Embah
Bandong”.
Selama bertahun-tahun Raja
Tanjung Wangi Embah Panggung Jayadikusumah bersemedi di Gunung Anday, banyak
macam-macam ilham yang diterimanya dari yang Mahakuasa, kemudian disampaikannya
kepada 4 orang kepercayaannya, selanjutnya dari ke 4 orang kepercayaannya tadi
disampaikan kembali kepada Embah Bandong untuk selanjutnya disampaikan kepada seuweu
siwi Lebakwangi Batukarut. Adapun pesan
atau amanat dari Sang Raja tidak secara terbuka dalam bentuk yang mudah
dicerna, namun beliau mengamanatkan berupa “silih
atanapi siloka”, simbol atau arti kiasan, seperti halnya antara lain :
1.
Tidak
boleh Naik Haji, bila belum siap
2.
Tidak
boleh memelihara kuda yang berwarna abu
3.
Tidak
boleh memelihara kuda yang berwarna tembaga
4.
Tidak
boleh memelihara kerbau berwarna merah
5.
Tidak
boleh menebang pepohonan di daerah mata air
6.
Tidak
boleh membangun rumah gedongan
7.
Tidak
boleh membuat pondasi rumah dari batu dan suhunan pondok
Amanat-amanat tadi bukanlah
arti yang sebenarnya, tetapi mengandung makna yang mendalam untuk menjadi
panduan hidup kita sehari-hari.
Setelah Embah Panggung
Jayadikusumah mencapai akhir hayatnya, konon kata sesepuh disebut “Tilem”, yang
tinggal hanya wujud maqomnya (petilasannya).
Menurut cerita entah berapa puluh atau ratus tahun setelah Embah
Panggung Jayadikusumah tilem, ke 4 orang kepercayaannyapun sama-sama tilem,
yang hingga sampai sekarang petilasannya ada di Gunung Andaya Sakti atau Gunung
Alit :
Terdapat 6 maqom disana, yaitu
:
1. Maqom Embah Lurah
Sutadikusumah, dan Embah Wira Sutadikusumah, terletak di paling bawah gunung
2. Maqom Embah Patra Kusumah, dan
Embah Aji Kalangsumitra, berada ditengah-tengah gunung
3. Maqom Embah Panggung
Jayadikusumah, yang terletak dipuncak gunung.
Menurut para orang tua, bekas
rumahnya sekarang disebut “Bumi Alit Kabuyutan”, disana dipakai untuk menyimpan
benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, seperti :
1. Sumbul, yang digantungkan
2. Gobang, keris, pedang, badi,
dan kujang
Para generasi penerus keturunan
leluhur Lebakwangi Batukarut atau yang disebut “Seuweu Siwi” hingga sekarang masih melestarikan barang-barang
pusaka peninggalannya, serta setiap tahun dipeliharanya dalam suatu rangkaian
acara yang dinamakan “Ngarumat Barang Pusaka” yang biasa dilaksanakan pada
setiap tanggal 12 Mulud setiap tahunnya.
Tempat menyimpan benda pusaka tersebut atau
Bumi Alit Kabuyutan sudah diakui keberadaanya oleh Pemerintah Daerah dan sudah
dikategorikan sebagai Cagar Budaya yang harus dijaga dan dilestarikan oleh
siapapun.
Sumber
:
- Buku Nyukcruk Galur Mapay Raratan Riwayat Lebakwangi-Batukarut, karya Drs. H.A. Ii Danya yang diterbitkan oleh Sasaka Waruga Pusaka, tahun 1994.
- Hasil wawancara dengan H. Uko Rukanda (alm) pada tanggal 15 November 1997 oleh Drajat Sudrajat, SPd.
Untuk menambah wawasan tentang Sejarah Barang Pusaka, dan sejarah Lebakwangi Batukarut, berikut ini saya cuplik sebuah tulisan H. Itang Wismana
Oleh : Itang bin Adjud (www.wismanaerawan.wordpress.com)
Cerita dimulai dengan terjadinya letusan gunung api Sunda yang besar serta tingginya mencakar langit, tiba-tiba meletus, getaran yang menyebabkan terjadinya angin puting beliung yang mengacak-acak disertai gelegarnya letusan gunung yang menjangkau hingga jarak jauh disertai getaran tanah yang dasyat (gempa) menyebabkan tanah Sunda berubah keadaannya sangat mengerikan seibarat mau kiamat, dapat kita bayangkan, bagaimana dasyatnya malapetaka ketika itu karena yang meletus bukan gunung-gunungan tapi gunung sebagai pakunya bumi. Setelah sekian lama gempabumi berhenti, serta langit berangsur terang, sisa gunung berangsur mulai nampak jelas terlihat hancur bagaikan nasi tumpeng yang acak-acakan. pinggirannya berupa dinding yang berdiri terjal batunya berkilauan dan berasap, warna batu beraneka ragam, rupanya warna hitam, abu-abu, merah campur putih, kuning, lembahnya beribu-ribu, ujung tanjung berpuluh-puluh, punggungan berselang dengan batang kayu yang roboh berserakan, membuat ngeri yang melihat, tidak ada tanda-tanda kehidupan, sepi tiada bandingnya, setahun, sewindu waktu berlalu, pohon-pohon mulai tumbuh lagi, badan gunung yang hancur mulai tergenang air, sehingga kawah di tengah-tengah gunung semakin lama semakin keras, kemudian menyumbat pusat kawah, kawah gunung bagaikan kuali besar dapat menampung air hujan, makin lama makin tergenang, jadilah sebuah danau, airnya meluas hingga sejauh mata memandang, dindingnya lama-lama banyak yang berubah sifat, di mana-mana banyak muara alur air makin lama menjadi sungai. Bagian selatan dan tenggara tidak mengalami kerusakan yang berat, menurut ukuran ketika itu, hanya mengalami retak-retak dan tanah ablas di mana-mana, sehingga pinggiran danau agak landai, bagian selatan tanahnya miring dari selatan ke utara dan yang di utara miring ke selatan, makin lama makin lebar, dataran tersebut disebut Malabar.sesuai dengan keadaan yang melebar ke utara-selatan.
Suatu malam yang sunyi senyap, di langit bertebaran bintang-bintang, bagaikan kilat dari langit ada cahaya, seperti meteor meluncur jatuh di air telaga tidak jauh dari daratan yang mulai ditumbuhi pohon-pohon, air telaga yang tenang menjadi timbul riak gelombang makin melebar luas, serta riaknya aneh, menimbulkan 5 rupa warna serta lingkarannya ada 27, gelombangnya saling susul meluas memenuhi permukaan air, ke utara, timur serta ke-barat tetapi ke selatan tidak menerus karena tertahan daratan, kalau siang hari di tempat jatuhnya barang (“yang bercahaya”) tidak Nampak keanehannya, tetapi kalau malam hari keanehan Nampak silih berganti, begitulah menurut yang punya cerita. Suatu malam ketika purnama sedang terang benderang, keadaan sekitar telaga/danau hiyang sangat sepi, ada cahaya yang berkelebat di tempat jatuhnya barang tadi ada cahaya yang melesat ke langit, kemudian cahaya yang melesat itu melengkung dan kembali lagi ke bawah, dari cahaya tersebut mengeluarkan cahaya 5 warna berkilauan dan membentuk lingkaran agak lonjong, gebyar cahaya yang lonjong itu mengeluarkan cahaya menerangi permukaan air telaga mengimbangi sinar bulan purnama, ketika cahaya tersebut padam nampak ada yang mekar di atas air, bunga Tunjung yang sangat bagus/indah menghiasi “telaga hiyang” daun bunganya ada 9 lembar beraneka warna, mekar di tangkainya, di bawah tangkai bunga ada daunnya, tebal, lebar hijau bagai beludru, semuanya ada 7 lembar yang paling aneh di tengah-tengah bunga yang sedang mekar ada yang sedang bersemedi berpakaian serba putih, ketika mendekati pagi hari bunga Tunjungpun kuncup, yang semedi terbungkus kuncupnya Tunjung, tidak Nampak sedikitpun, kalau ada angin sepoi-sepoi, bunga Tunjungpun ikut bergoyang mengimbangi angin..
Tersebutlah ke tempat pelataran tersebut ada yang datang suami istri untuk menjadi penghuninya, dari mana asalnya tidak ada yang tahu, melihat penampilan keduanya sangat tegap, santun menandakan berilmu, datangnya seperti yang sengaja hendak bertapa, bikin padepokan pinggir telaga, kalau malam nyepi sedangkan siangnya bertani, karena tanahnya subur sehingga tanamannya juga tumbuh subur, membuat bahagia yang sedang bertapa. Sudah kehendak yang maha kuasa yang bertapa menerima wangsit tentang bunga Tunjung. Akhirnya bunga Tunjung itu dipetik sesuai dengan wangsit, dikemas, serta ditempatkan pada sumbul di dalam “kukumbung”.
Yang bertapa selesai tapanya, pohon Tunjungpun menghilang dari telaga sehingga bekas pohonnya diberi tanda dengan “talutug” supaya tidak lupa. Yang bertapa tidak meninggalkan tempatnya bahkan menjadi penghuni tempat tersebut, dengan bertambahnya pendatang sehingga tempat tersebut di pelihara dan dibenahi sehingga menjadi Negara, nama Negara mengambil nama bunga aneh yang disebut “Tunjungwangi” sedang yang menjadi raja yaitu orang yang menerima wangsit tadi, begitu menurut ceritera.
Tersebut dalam ceritera, di Ujungkulon pinggir Sungai Sunda, ada Negara yang menjadi rajanya Pandita Lalanangjagat, ilmunya sakti, tenaganya kuat, mempunyai seorang anak laki-laki, jejaka gagah sakti mandraguna, kebiasaannya bertapa, diceriterakan, jejaka ahli bertapa lagi semedi di ujung daratan pada batukarang di muara Sungai selama bertahun-tahun, ketika bertapa jejaka tersebut mendapat wangsit, setelah selesai bertapanya jejaka pulang hendak menemui ayahnya untuk membicarakan hasil bertapanya, ayah dan anak sudah saling berhadapan dan membicarakan tentang wangsit (ilmu), keduanya sama-sama bingungnya, sama-sama tidak tahu keduanya tidak dapat membuka isi wangsit tersebut. menurut ceritera keduanya sama-sama penasaran yang mendalam dan membuat gelisah keduanya,sehingga ayah dan anak keduanya sakit, bingung oleh isi siloka (wangsit) hasil bertapa, apa isi/maksud dari siloka. Akhirnya ayahnya menugaskan anaknya pergi untuk mencari tahu maksud dari siloka, dan tidak boleh pulang kalau maksud siloka tersebut belum didapat, yang ditugaskan mengangguk tanda sanggup, karena selalu taat perintah orang tua, seketika itu juga berangkatlah jejaka tersebut.
Pada suatu malam ketika bulan setengah terang Pupuhu negara Tunjung beserta istri sedang tapakur di Balekambang, dalam tapakurnya beliau mendapat wangsit bahwa suatu ketika kelak akan datang jejaka yang akan menjadi jalan cerita, selain beliau berdua akan datang para pemimpin-pemimpin penting, karena itu kita harus siap-siap untuk menyambutnya begitulah pembicaraan kedua orang tua tersebut.
Diceritakan, jejaka yang diberi tugas mampir dulu di tempatnya bertapa untuk menguatkan niat dan berdoa,setelah berdoa berangkatlah jejaka tersebut sambil membawa pedang saktinya, setelah mencari ke utara, selatan, timur dan ke barat, singkat cerita setelah tidak berhasil mendapatkan yang dicari, kemudian menuju ke bagian tengah, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita, sunyi senyap, jejaka tersebut kaget, dalam hatinya berkata, tanda apa gerangan, karena cape setelah berjalan sekian lama, jejaka tersebut istirahat dan bersandar pada pohon kemudian tidur nyenyak.
Diceritakan kembali suami istri yang punya cerita, saat itu keduanya sedang menanti kedatangan jejaka, yang dinanti tak kunjung datang, hawatir mendapat musibah, sehingga keduanya memutuskan untuk menjemput jejaka yang dinantinya, karena keduanya berilmu tinggi seketika itu juga sampailah ke tempat yang dituju, tempat istirahatnya jejaka yang dinanti, kemudian berbicara, keterima sama jejaka tersebut dalam mimpinya, hey jejaka, jangan sampai kamu bermalas-malasan, karena kamu sedang mendapat tugas, kalau begitu caranya, kamu tidak akan ketemu dengan “siloka” yang kamu cari, jangan membuang-buang waktu, bisa-bisa kamu akan mendapat hukuman. Kamu harus jalan ke hulu, nanti kalau kamu sudah sampai di telaga hyang, disitulah adanya yang kamu cari, untuk mendapatkan yang kamu cari, tidak boleh putus asa, harus tekun dan telaten, harus ikhlas, jangan ragu-ragu, untuk itu kamu harus membuat “jala” dulu yang besar yang bisa menutupi luasnya telaga hyang dan kamu harus memakai nama sesuai dengan nama “jala” tersebut, untuk mengenangnya, semoga selamat, begitulah kedua suami istri berpesan, kemudian keduanya kembali ke pakuwon semula.
Jejaka terbangun, setelah nengok ke sekelilingnya, berangkatlah jejaka tersebut menuju tempat sesuai petunjuk dalam mimpinya, setibanya di tempat tujuan berhentilah jejaka tersebut dan menatap jauh keadaan sekelilingnya, di selatan nampak terlihat ada cahaya yang memancar ke angkasa tepatnya di tengah-tengah kumpulan pegunungan, pasti disitu, berkata dalam hatinya, sambil mengingat kembali mimpinya, diambilnya pedang kemudian dipakai membabad rotan yang ada di sekitarnya untuk membuat “jala”
Tanpa pilih-pilih, semua pohon dibabad sehingga tidak meninggalkan satupun pohon yang berdiri, setelah mengumpulkan rotan kemudian istirahat sejenak. Untuk pemberat jala menggunakan batu, kemudian membuat “beuti cariang”,membuat “barera dengan “sumbinya“, setelah selesai kemudian istirahat, selesai istirahat jejaka kaget karena kehilangan “sumbinya” yang sudah dibuat tadi, dicarinya tapi tidak juga ketemu, hatinya sangat kecewa,tapi ingat pada pesan dalam mimpinya, marahnya tidak jadi, kemudian membuat lagi “ beuti cariang” lagi, singkat cerita, rotan yang bagaikan gunung banyaknya habis di buat “jala”, sebelum menggunakan jala, jejaka tersebut berdo,a mohon petunjuk supaya kerjanya menghasilkan apa yang diharapkan sambil menamakan dirinya Bandrong Bandung Bandang Wasa, sesuai dengan pekerjaannya.
Dalam cerita kedua suami istri tersebut mengetahui, jejaka sudah selesai membuat “jala”nya bahkan sedang menunggu waktunya untuk memulai pekerjaannya, tetapi keduanya bermaksud ingin mencoba jejaka tersebut, sehingga dalam cerita kedua suami istri tersebut berubah wujud menjadi “biul” (lisang), kedua”biul” berenang kesana – kemari, sewaktu-waktu menyelam ke dasar telaga. Sambil menunggu kedatangan jejaka.
Jejaka yang sedang bertapa, selesai tapanya, kemudian akan memulai dengan pekerjaannya, diambilnya jala buatannya sendiri yang bertumpuk yang besarnya bagaikan bukit. “jala” diangkat ke pundaknya, batunya bergelantungan, sebelum melangkah jejaka tersebut menatap jauh ke sekitarnya memandang bekas perjalanannya. Ketika memandang ke arah barat, jejaka tersebut kaget, ingat kampung halaman dan ayahnya sehingga hampir mengganggu niatnya, dengan keyakinannya yang kuat, jejaka malanjutkan niatnya menuju ke selatan untuk menuju tempat cahaya yang bersinar dari dasar telaga, dengan penuh keberanian jejaka tersebut sampailah pada tempat yang dituju, kemudian membersihkan diri dulu, berdo’a dan minta ijin sama penghuni telaga dan menyampaikan maksud tujuan datang ke telaga, kemudian mencari tempat untuknya berdo’a. kedua “biul” setelah tahu jejaka yang ditunggu datang kemudian berenang mendekati jejaka tersebut kemudian menggoda jejaka yang sedang bertapa, tetapi yang bertapa tidak tergoda, melihat jejaka bangun dari tapanya, kedua biul tersebut menyelam ke dasar telaga tetapi jejaka melihat riak air telaga bekasnya biul nyelam, dalam hatinya jejaka berkata; yang dicari akan didapatkan, kemudian diambilnya jala dan siap-siap bagaikan mau menjala ikan. Kedua biul tadi muncul lagi ke permukaan telaga dengan maksud mau melihat jejaka yang sedang bertapa tadi, ketika muncul ke permukaan telaga nampak jejaka sedang siap-siap mau menebar jala, kedua biul tersebut cepat-cepat menyelam lagi ke dasar telaga, bersamaan dengan dilemparnya jala oleh jejaka, terdengar sura jala yang ditebar bagaikan suara badai, kemudian jala ditarik, tapi tetap tidak dapat hasil, demikian cerita yang menjala dengan yang menggoda, napsunya jejaka yang menjala sudah tidak sabar lagi, biul terus dikejar dengan jala, tetap tidak berhasil, malah makin bertambah menggodanya, jejaka makin kepayahan, luasnya telaga sudah diuber hingga airnya keruh, wajah jejaka makin memerah pertanda marah yang tidak terhingga. Tenaga jejaka yang melempar jala makin kuat sehingga batu pemberat jala banyak yang lepas terlempar dengan ikatannya, demikian juga ketika menarik jala, banyak batunya yang ketinggalan, yang dikemudian hari kalau telaga sudah kering akan ditemukan batu-batu tersebut. Air telaga tumpah ke sebelah barat laut sekalian dijebol supaya telaga lekas surut airnya, sehingga bagian selatan telaga menjadi daratan dan makin meluas. Yang menjala sudah kepayahan dan pusing menghadapi tingkah lakunya “biul”. Sehingga ‘biul dikejar dengan menggunakan pedangnya, tidak diberi kesempatan lolos, biul hamper kewalahan dan hampir tertangkap. Karena dalam air, biul masih bisa menghindar dengan lincahnya, jejaka makin kepayahan, biul melarikan diri berenang ke arah selatan kemudian berubah wujub kembali ke asal, berdiri di pinggir telaga dengan maksud mau menjemput yang mengejar, yang mengejar dengan kemarahan yang tidak terhingga, ketika jejaka melihat yang hendak menjemput, tiba-tiba terjadi pertarungan, keduanya sama kuat, lamanya bertarung tidak diketahui. Diceritakan dengan berjalannya waktu, keduanya sudah berhenti bertarung, tidak diceritakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, dikisahkan keduanya sudah berdamai, dan jejakapun mendapat ilmu dari orang tua di Tunjungwangi yang menjadi kepala Negara, kemudian diberitahukan isi “siloka” hasil jejaka bertapa, yang menjadi harapan hidupnya.
Suatu ketika ke tiganya berkumpul di Balekambang tempatnya nyepi, sambil mebicarakan tentang ilmu penuntun hidup, ketiganya sudah saling memahami, jaka Bandrong inget akan ayahnya di kampung halaman, yang menugaskan dia berangkat untuk mencari arti siloka hasilnya bertapa, jejaka mohon ijin pulang dulu ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya, setelah mendapat ijin, berangkatlah jejaka tersebut, tetapi sambil diberi tugas sebagai syarat: kalau tiba waktunya kembali ke Negara Tunjung, sepanjang perjalanan harus sambil tanam pohon sebagai tanda kelak manjadi nama Negara, wajah jejaka nampak bahagia karena yang menjadi kepenasaran hatinya sudah didapatkan
Singkat cerita, sekembalinya jejaka dari menemui ayahnya sampailah di Balekambang Tunjung dengan membawa cindera mata dari ayahnya berupa seperangkat gamelan goong renteng. Demikian cerita mengenai asal – usul adanya gamelan goong renteng Kabuyutan di desa Lebakwangi-Batukarut, Kecamatan Arjasari. Walahu alam bi sawab.
Catatan.
Cerita asal ditulis dalam bahasa sunda,dengan judul Sejarah Goong renteng Lebakwangi-Batukarut, karya Bapak Adjud Erawan, penterjemah mohon dimaklum dan maap bila alih bahasa tidak tepat.
SEJARAH GOONG RENTENG LEBAKWANGI-BATUKARUT
KECAMATAN ARJASARI KABUPATEN BANDUNG
Cerita dimulai dengan terjadinya letusan gunung api Sunda yang besar serta tingginya mencakar langit, tiba-tiba meletus, getaran yang menyebabkan terjadinya angin puting beliung yang mengacak-acak disertai gelegarnya letusan gunung yang menjangkau hingga jarak jauh disertai getaran tanah yang dasyat (gempa) menyebabkan tanah Sunda berubah keadaannya sangat mengerikan seibarat mau kiamat, dapat kita bayangkan, bagaimana dasyatnya malapetaka ketika itu karena yang meletus bukan gunung-gunungan tapi gunung sebagai pakunya bumi. Setelah sekian lama gempabumi berhenti, serta langit berangsur terang, sisa gunung berangsur mulai nampak jelas terlihat hancur bagaikan nasi tumpeng yang acak-acakan. pinggirannya berupa dinding yang berdiri terjal batunya berkilauan dan berasap, warna batu beraneka ragam, rupanya warna hitam, abu-abu, merah campur putih, kuning, lembahnya beribu-ribu, ujung tanjung berpuluh-puluh, punggungan berselang dengan batang kayu yang roboh berserakan, membuat ngeri yang melihat, tidak ada tanda-tanda kehidupan, sepi tiada bandingnya, setahun, sewindu waktu berlalu, pohon-pohon mulai tumbuh lagi, badan gunung yang hancur mulai tergenang air, sehingga kawah di tengah-tengah gunung semakin lama semakin keras, kemudian menyumbat pusat kawah, kawah gunung bagaikan kuali besar dapat menampung air hujan, makin lama makin tergenang, jadilah sebuah danau, airnya meluas hingga sejauh mata memandang, dindingnya lama-lama banyak yang berubah sifat, di mana-mana banyak muara alur air makin lama menjadi sungai. Bagian selatan dan tenggara tidak mengalami kerusakan yang berat, menurut ukuran ketika itu, hanya mengalami retak-retak dan tanah ablas di mana-mana, sehingga pinggiran danau agak landai, bagian selatan tanahnya miring dari selatan ke utara dan yang di utara miring ke selatan, makin lama makin lebar, dataran tersebut disebut Malabar.sesuai dengan keadaan yang melebar ke utara-selatan.
Suatu malam yang sunyi senyap, di langit bertebaran bintang-bintang, bagaikan kilat dari langit ada cahaya, seperti meteor meluncur jatuh di air telaga tidak jauh dari daratan yang mulai ditumbuhi pohon-pohon, air telaga yang tenang menjadi timbul riak gelombang makin melebar luas, serta riaknya aneh, menimbulkan 5 rupa warna serta lingkarannya ada 27, gelombangnya saling susul meluas memenuhi permukaan air, ke utara, timur serta ke-barat tetapi ke selatan tidak menerus karena tertahan daratan, kalau siang hari di tempat jatuhnya barang (“yang bercahaya”) tidak Nampak keanehannya, tetapi kalau malam hari keanehan Nampak silih berganti, begitulah menurut yang punya cerita. Suatu malam ketika purnama sedang terang benderang, keadaan sekitar telaga/danau hiyang sangat sepi, ada cahaya yang berkelebat di tempat jatuhnya barang tadi ada cahaya yang melesat ke langit, kemudian cahaya yang melesat itu melengkung dan kembali lagi ke bawah, dari cahaya tersebut mengeluarkan cahaya 5 warna berkilauan dan membentuk lingkaran agak lonjong, gebyar cahaya yang lonjong itu mengeluarkan cahaya menerangi permukaan air telaga mengimbangi sinar bulan purnama, ketika cahaya tersebut padam nampak ada yang mekar di atas air, bunga Tunjung yang sangat bagus/indah menghiasi “telaga hiyang” daun bunganya ada 9 lembar beraneka warna, mekar di tangkainya, di bawah tangkai bunga ada daunnya, tebal, lebar hijau bagai beludru, semuanya ada 7 lembar yang paling aneh di tengah-tengah bunga yang sedang mekar ada yang sedang bersemedi berpakaian serba putih, ketika mendekati pagi hari bunga Tunjungpun kuncup, yang semedi terbungkus kuncupnya Tunjung, tidak Nampak sedikitpun, kalau ada angin sepoi-sepoi, bunga Tunjungpun ikut bergoyang mengimbangi angin..
Tersebutlah ke tempat pelataran tersebut ada yang datang suami istri untuk menjadi penghuninya, dari mana asalnya tidak ada yang tahu, melihat penampilan keduanya sangat tegap, santun menandakan berilmu, datangnya seperti yang sengaja hendak bertapa, bikin padepokan pinggir telaga, kalau malam nyepi sedangkan siangnya bertani, karena tanahnya subur sehingga tanamannya juga tumbuh subur, membuat bahagia yang sedang bertapa. Sudah kehendak yang maha kuasa yang bertapa menerima wangsit tentang bunga Tunjung. Akhirnya bunga Tunjung itu dipetik sesuai dengan wangsit, dikemas, serta ditempatkan pada sumbul di dalam “kukumbung”.
Yang bertapa selesai tapanya, pohon Tunjungpun menghilang dari telaga sehingga bekas pohonnya diberi tanda dengan “talutug” supaya tidak lupa. Yang bertapa tidak meninggalkan tempatnya bahkan menjadi penghuni tempat tersebut, dengan bertambahnya pendatang sehingga tempat tersebut di pelihara dan dibenahi sehingga menjadi Negara, nama Negara mengambil nama bunga aneh yang disebut “Tunjungwangi” sedang yang menjadi raja yaitu orang yang menerima wangsit tadi, begitu menurut ceritera.
Tersebut dalam ceritera, di Ujungkulon pinggir Sungai Sunda, ada Negara yang menjadi rajanya Pandita Lalanangjagat, ilmunya sakti, tenaganya kuat, mempunyai seorang anak laki-laki, jejaka gagah sakti mandraguna, kebiasaannya bertapa, diceriterakan, jejaka ahli bertapa lagi semedi di ujung daratan pada batukarang di muara Sungai selama bertahun-tahun, ketika bertapa jejaka tersebut mendapat wangsit, setelah selesai bertapanya jejaka pulang hendak menemui ayahnya untuk membicarakan hasil bertapanya, ayah dan anak sudah saling berhadapan dan membicarakan tentang wangsit (ilmu), keduanya sama-sama bingungnya, sama-sama tidak tahu keduanya tidak dapat membuka isi wangsit tersebut. menurut ceritera keduanya sama-sama penasaran yang mendalam dan membuat gelisah keduanya,sehingga ayah dan anak keduanya sakit, bingung oleh isi siloka (wangsit) hasil bertapa, apa isi/maksud dari siloka. Akhirnya ayahnya menugaskan anaknya pergi untuk mencari tahu maksud dari siloka, dan tidak boleh pulang kalau maksud siloka tersebut belum didapat, yang ditugaskan mengangguk tanda sanggup, karena selalu taat perintah orang tua, seketika itu juga berangkatlah jejaka tersebut.
Pada suatu malam ketika bulan setengah terang Pupuhu negara Tunjung beserta istri sedang tapakur di Balekambang, dalam tapakurnya beliau mendapat wangsit bahwa suatu ketika kelak akan datang jejaka yang akan menjadi jalan cerita, selain beliau berdua akan datang para pemimpin-pemimpin penting, karena itu kita harus siap-siap untuk menyambutnya begitulah pembicaraan kedua orang tua tersebut.
Diceritakan, jejaka yang diberi tugas mampir dulu di tempatnya bertapa untuk menguatkan niat dan berdoa,setelah berdoa berangkatlah jejaka tersebut sambil membawa pedang saktinya, setelah mencari ke utara, selatan, timur dan ke barat, singkat cerita setelah tidak berhasil mendapatkan yang dicari, kemudian menuju ke bagian tengah, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita, sunyi senyap, jejaka tersebut kaget, dalam hatinya berkata, tanda apa gerangan, karena cape setelah berjalan sekian lama, jejaka tersebut istirahat dan bersandar pada pohon kemudian tidur nyenyak.
Diceritakan kembali suami istri yang punya cerita, saat itu keduanya sedang menanti kedatangan jejaka, yang dinanti tak kunjung datang, hawatir mendapat musibah, sehingga keduanya memutuskan untuk menjemput jejaka yang dinantinya, karena keduanya berilmu tinggi seketika itu juga sampailah ke tempat yang dituju, tempat istirahatnya jejaka yang dinanti, kemudian berbicara, keterima sama jejaka tersebut dalam mimpinya, hey jejaka, jangan sampai kamu bermalas-malasan, karena kamu sedang mendapat tugas, kalau begitu caranya, kamu tidak akan ketemu dengan “siloka” yang kamu cari, jangan membuang-buang waktu, bisa-bisa kamu akan mendapat hukuman. Kamu harus jalan ke hulu, nanti kalau kamu sudah sampai di telaga hyang, disitulah adanya yang kamu cari, untuk mendapatkan yang kamu cari, tidak boleh putus asa, harus tekun dan telaten, harus ikhlas, jangan ragu-ragu, untuk itu kamu harus membuat “jala” dulu yang besar yang bisa menutupi luasnya telaga hyang dan kamu harus memakai nama sesuai dengan nama “jala” tersebut, untuk mengenangnya, semoga selamat, begitulah kedua suami istri berpesan, kemudian keduanya kembali ke pakuwon semula.
Jejaka terbangun, setelah nengok ke sekelilingnya, berangkatlah jejaka tersebut menuju tempat sesuai petunjuk dalam mimpinya, setibanya di tempat tujuan berhentilah jejaka tersebut dan menatap jauh keadaan sekelilingnya, di selatan nampak terlihat ada cahaya yang memancar ke angkasa tepatnya di tengah-tengah kumpulan pegunungan, pasti disitu, berkata dalam hatinya, sambil mengingat kembali mimpinya, diambilnya pedang kemudian dipakai membabad rotan yang ada di sekitarnya untuk membuat “jala”
Tanpa pilih-pilih, semua pohon dibabad sehingga tidak meninggalkan satupun pohon yang berdiri, setelah mengumpulkan rotan kemudian istirahat sejenak. Untuk pemberat jala menggunakan batu, kemudian membuat “beuti cariang”,membuat “barera dengan “sumbinya“, setelah selesai kemudian istirahat, selesai istirahat jejaka kaget karena kehilangan “sumbinya” yang sudah dibuat tadi, dicarinya tapi tidak juga ketemu, hatinya sangat kecewa,tapi ingat pada pesan dalam mimpinya, marahnya tidak jadi, kemudian membuat lagi “ beuti cariang” lagi, singkat cerita, rotan yang bagaikan gunung banyaknya habis di buat “jala”, sebelum menggunakan jala, jejaka tersebut berdo,a mohon petunjuk supaya kerjanya menghasilkan apa yang diharapkan sambil menamakan dirinya Bandrong Bandung Bandang Wasa, sesuai dengan pekerjaannya.
Dalam cerita kedua suami istri tersebut mengetahui, jejaka sudah selesai membuat “jala”nya bahkan sedang menunggu waktunya untuk memulai pekerjaannya, tetapi keduanya bermaksud ingin mencoba jejaka tersebut, sehingga dalam cerita kedua suami istri tersebut berubah wujud menjadi “biul” (lisang), kedua”biul” berenang kesana – kemari, sewaktu-waktu menyelam ke dasar telaga. Sambil menunggu kedatangan jejaka.
Jejaka yang sedang bertapa, selesai tapanya, kemudian akan memulai dengan pekerjaannya, diambilnya jala buatannya sendiri yang bertumpuk yang besarnya bagaikan bukit. “jala” diangkat ke pundaknya, batunya bergelantungan, sebelum melangkah jejaka tersebut menatap jauh ke sekitarnya memandang bekas perjalanannya. Ketika memandang ke arah barat, jejaka tersebut kaget, ingat kampung halaman dan ayahnya sehingga hampir mengganggu niatnya, dengan keyakinannya yang kuat, jejaka malanjutkan niatnya menuju ke selatan untuk menuju tempat cahaya yang bersinar dari dasar telaga, dengan penuh keberanian jejaka tersebut sampailah pada tempat yang dituju, kemudian membersihkan diri dulu, berdo’a dan minta ijin sama penghuni telaga dan menyampaikan maksud tujuan datang ke telaga, kemudian mencari tempat untuknya berdo’a. kedua “biul” setelah tahu jejaka yang ditunggu datang kemudian berenang mendekati jejaka tersebut kemudian menggoda jejaka yang sedang bertapa, tetapi yang bertapa tidak tergoda, melihat jejaka bangun dari tapanya, kedua biul tersebut menyelam ke dasar telaga tetapi jejaka melihat riak air telaga bekasnya biul nyelam, dalam hatinya jejaka berkata; yang dicari akan didapatkan, kemudian diambilnya jala dan siap-siap bagaikan mau menjala ikan. Kedua biul tadi muncul lagi ke permukaan telaga dengan maksud mau melihat jejaka yang sedang bertapa tadi, ketika muncul ke permukaan telaga nampak jejaka sedang siap-siap mau menebar jala, kedua biul tersebut cepat-cepat menyelam lagi ke dasar telaga, bersamaan dengan dilemparnya jala oleh jejaka, terdengar sura jala yang ditebar bagaikan suara badai, kemudian jala ditarik, tapi tetap tidak dapat hasil, demikian cerita yang menjala dengan yang menggoda, napsunya jejaka yang menjala sudah tidak sabar lagi, biul terus dikejar dengan jala, tetap tidak berhasil, malah makin bertambah menggodanya, jejaka makin kepayahan, luasnya telaga sudah diuber hingga airnya keruh, wajah jejaka makin memerah pertanda marah yang tidak terhingga. Tenaga jejaka yang melempar jala makin kuat sehingga batu pemberat jala banyak yang lepas terlempar dengan ikatannya, demikian juga ketika menarik jala, banyak batunya yang ketinggalan, yang dikemudian hari kalau telaga sudah kering akan ditemukan batu-batu tersebut. Air telaga tumpah ke sebelah barat laut sekalian dijebol supaya telaga lekas surut airnya, sehingga bagian selatan telaga menjadi daratan dan makin meluas. Yang menjala sudah kepayahan dan pusing menghadapi tingkah lakunya “biul”. Sehingga ‘biul dikejar dengan menggunakan pedangnya, tidak diberi kesempatan lolos, biul hamper kewalahan dan hampir tertangkap. Karena dalam air, biul masih bisa menghindar dengan lincahnya, jejaka makin kepayahan, biul melarikan diri berenang ke arah selatan kemudian berubah wujub kembali ke asal, berdiri di pinggir telaga dengan maksud mau menjemput yang mengejar, yang mengejar dengan kemarahan yang tidak terhingga, ketika jejaka melihat yang hendak menjemput, tiba-tiba terjadi pertarungan, keduanya sama kuat, lamanya bertarung tidak diketahui. Diceritakan dengan berjalannya waktu, keduanya sudah berhenti bertarung, tidak diceritakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, dikisahkan keduanya sudah berdamai, dan jejakapun mendapat ilmu dari orang tua di Tunjungwangi yang menjadi kepala Negara, kemudian diberitahukan isi “siloka” hasil jejaka bertapa, yang menjadi harapan hidupnya.
Suatu ketika ke tiganya berkumpul di Balekambang tempatnya nyepi, sambil mebicarakan tentang ilmu penuntun hidup, ketiganya sudah saling memahami, jaka Bandrong inget akan ayahnya di kampung halaman, yang menugaskan dia berangkat untuk mencari arti siloka hasilnya bertapa, jejaka mohon ijin pulang dulu ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya, setelah mendapat ijin, berangkatlah jejaka tersebut, tetapi sambil diberi tugas sebagai syarat: kalau tiba waktunya kembali ke Negara Tunjung, sepanjang perjalanan harus sambil tanam pohon sebagai tanda kelak manjadi nama Negara, wajah jejaka nampak bahagia karena yang menjadi kepenasaran hatinya sudah didapatkan
Singkat cerita, sekembalinya jejaka dari menemui ayahnya sampailah di Balekambang Tunjung dengan membawa cindera mata dari ayahnya berupa seperangkat gamelan goong renteng. Demikian cerita mengenai asal – usul adanya gamelan goong renteng Kabuyutan di desa Lebakwangi-Batukarut, Kecamatan Arjasari. Walahu alam bi sawab.
Catatan.
Cerita asal ditulis dalam bahasa sunda,dengan judul Sejarah Goong renteng Lebakwangi-Batukarut, karya Bapak Adjud Erawan, penterjemah mohon dimaklum dan maap bila alih bahasa tidak tepat.
Agen Club36Bet handal dan terbesar poker online di Indonesia.
BalasHapusuang Asli.Club36Bet Semua game bisa dimainkan.
Hanya satu ID pengguna.
Deposit: 25.000, - dan penarikan dana : 50.000, -.
Anda dapat bergabung dengan jutaan kesempatan untuk bermain dan menang.
Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di situs resmi kami atau dapat Club36Bet.
Hubungi kami melalui LiveChat dan bahan bakar untuk melayani Anda 24 jam nonstop.
Website:club36bet.com
BBM: D8C8DB2F
Whatsapp: +6282246921168
Klasifikasi: club36bet
WeChat: CLUB36BET
Nikmat Promo Bonus:
Bonus 10% Club36Bet semua permainan
ROLLINGAN poker dan DOMINO 0,3%
Bonus Cash Back SABUNGAYAM 5%
Bonus ROLLINGAN LIVECASINO 0,8%
Bonus 5% bonus cashback Slot game.
bonus deposit 100% (Olahraga).
Sportbook bonus hingga 25%
2% referral bonus
Mantap sejarah yang patut di lestarikan
BalasHapusKelengkapan sejarah kebuyutan bumi alit bandung ada pada sejarah kebuyutan blandongan gunung kumbang dan saya ucapkan terimakasih kepada penulis sejarah kebuyutan bumi alit bandung yang sudah melengkapi sejarah kebuyutan bumi sagandu gunung kumbang.
BalasHapusSejarah kebuyutan tersebut menceritakan orang yang sama.
BalasHapusAlhamdulillah... Kanggo wawasan sareng langkung mikareueus lembur.
BalasHapusAssalamualaikum..... Sejarah Kebuyutan lebak wangi/tunjung wangi bandung beserta cerita gong rentengnya sejarah Kebuyutan gunung kumbang, sejarah sembilan ki buyut cirebon,sejarah desa cimulya dan sejarah ratu tujuh gunung kumbang ,sejarah gunung salak,sejarah pembuatan keris naga runting itu semua memperlihatkan perjalanan perabu siliwangi menuju jalan agama islam dan bisa membuka pangsit siliwangi insa allah sudah lengkap.
BalasHapusNamun walaupun begitu kita harus mencari tempat tersebut namun sudah jelas di sebutkan tempatnya.
Salam santun
Dalam sejarah gunung kumbang di sebutkan bahwa pemuda dari banten atau dari barat dari ujung kulon itu sebenarnya nama lain dari kian santang jadi cerita sejarah tersebut sengaja di buat dan cerita sejarahnya di ceritakan sebagian-sebagian di tiap-tiap wilayahnya.
BalasHapus