Menu

Sabtu, 19 Januari 2013

Sejarah Lebakwangi Batukarut



MENELUSURI JEJAK RIWAYAT
LEBAKWANGI-BATUKARUT


Sejarah Telaga Bandung

          Terkisah cerita di jaman dahulu bahwa wilayah Sunda keberadaannya tidak seperti masa kini, dulu berupa daratan yang kenal dengan nama “Daratan Sunda” yang keadaanya masih berbentuk hamparan, di ujung sebelah utara dibatasi lautan yang berbatasan dengan daratan Melayu, ujung Timur batasnya Nusa Ireng.  Konon di daratan sunda terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi, melebihi tingginya Gunung Himalaya, yang disebut “Gunung Sunda”.   Pada suatu waktu gunung tersebut meletus dan terjadi hanya dalam satu ledakan, yang mengakibatkan bencana alam yang dahsyat dan kerusakan berat, akibat terjadinya gunung meletus menimbulkan gempa, bahkan tanah banyak yang mengalami gempa tektonik, ombak laut banyak yang menyemburkan airnya ke daratan, tanah-tanah yang mengalami gempa tektonik menjadi terendam oleh air laut.  
Sesudah gunung tersebut meletus yang tinggal hanya beberapa suku gunung yang sekarang berubah menjadi gunung-gunung seperti : Bukit tunggul, Burangrang, Tangkuban parahu, Kancana, Papandayan, Waringin, Wayang, Malabar, Patuha, dan Gunung Apu Padalarang.  Setelah kawahnya tidak aktif lagi keadaan disana berubah menjadi subuah telaga yang amat besar (telaga raksasa) yang panjangnya dari Timur ke Barat sekira 60 km dan lebarnya dari Utara ke Selatan sekira 15 Km, Telaga raksasa tersebut dinamakan “Talaga Bandung” atau ada juga yang menamakan “Talaga Hiang”, menurut kepercayaan pada saat itu manusia yang telah meninggal, arwahnya “ngahiang” dan berkumpul di talaga tersebut.   Jadi dikatakan juga talaga tersebut tempat para hiang atau tempat mahluk halus, dan akhirnya di daerah itu disebut “Parahiangan”.
Pada suatu ketika, air telaga ini meresap ke dalam bumi melalui Gua Air Sanghiang Tikoro, di Rajamandala, Padalarang.   Karena tersedot bumi, lama kelamaan telaga itu menjadi sebuah daratan rendah dan menjadi rawa, yang sekarang disebut “Bandung” atau sebelumnya disebut “Parahiangan” atau “Priangan”.


          Terkisah cerita, datanglah rombongan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh seseorang, rombongan itu bermaksud mencari daerah untuk tempat pemukiman tetap, rombongan tersebut berasal dari sebelah Timur, menurut sesepuh Lebakwangi kemungkinan rombongan tersebut berasal dari Galuh.  Dan akhirnya rombongan menuju ke pinggir talaga di sebelah selatan yang tidak curam tetapi melebar.   Selain dari pimpinan rombongan terdapat 4 orang yang dipercayai oleh pimpinan rombongan, keempat orang tersebut diberi tugas untuk meneliti daerah itu, apakah cocok atau tidak untuk dijadikan tempat tinggal/pemukiman.  Adapun pertimbangannya antara lain : tidak jauh dari telaga, ada sungai kecil yang airnya mengalir ke talaga itu, dan tanahnya subur karena bekas gunung meletus.      Akhirnya menemukan pada suatu tempat yang cocok, kebetulan disitu ada sebuah pohon “Tanjung” yang besar yang sedang berbunga wanginya tercium kemana-mana.  Dan sejak itulah tempat itu diberinama “Tanjung Wangi”.  Karena letaknya di “Lebak” (daratan rendah) oleh generasi berikutnya tempat terbut diberi nama “ Lebak Wangi”.
          Ketika sedang berjalan proses penebangan hutan, tidak heran banyak hewan liar besar dan kecil pada berhamburan ketakutan, menjauhi, dan mereka tidak menggangu manusia, maklumlah yang menebang hutan dipimpin oleh ahli bersemedi.   Tapi walau bagaimanapun juga yang namanya hutan tetap hutan dan sudah pasti ada hewan yang merasa terusik keberadaannya, seperti yang dikisahkan bahwa di daerah “Pasir Wangi”, terkisah ada salah satu binatang yang aneh, tubuhnya besar, tinggi, dan buas,  bentuk tubuhnya dari bagian dada ke atas berupa binatang, dari bagian dada ke bawah mirip manusia.  Leluhur Lebakwangi menyebutnya sebagai “Berhala”.  Binatang tersebut hampir menerkam Pimpinan Rombongan dan terjadilah perkelahian antara “Berhala” tersebut dengan Pimpinan Rombongan. Saking serunya perkelahian, banyak pepohonan yang rusak dan pada suatu ketika jari-jari tangan binatang direnggut hingga kuku-kuku binatang tersebut yang tajam dan kuat terkelupas berceceran, yang akhirnya berhala tersebut roboh seketika.   Menurut Sesepuh Lebakwangi kuku-kuku tersebut ada buktinya dan disebut “ Kuku Manik Ganda Rukmin”.  Dan didaerah bekas hewan “Berhala” tersebut keluar hulu air dan diberi nama Cijadi (Cijanten).   Dinamakan Cijadi karena jadi untuk pemukiman, tetapi kalau hewan buas dan  perkasa itu tidak bisa ditaklukkan, maka besar kemungkinan tempat itu batal (tidak jadi) dijadikan tempat pemukiman.  Khalayak ramai sekarang menyebutnya “Cijanten”.

Kisah nama Cikabuyutan dan Citalutug

          Terkisah rombongan yang membuat pemukiman sudah menata lingkungan dan membangun rumah-rumah kecil yang manis, dalam menatanya begitu baik, permukaan tanah dihampar oleh batu-batuan.   Yang ditempati oleh Pimpinan rombongan ditata sedemikian teratur, bahkan sungai yang mengalir ke talaga dibelokkan sebagian agar melewati ke permukiman untuk kehidupan sehari-hari, dan sekarang terkenal dengan nama “Cikabuyutan”, sedangkan sungai yang dibelokkan berada di belakang permukiman diberi nama “Citalutug” (talutug artinya yang memperkokoh pemantar, sejenis patok bambu).   Diberi nama Citalutug bertujuan untuk memperkokoh permukiman jangan sampai goncang.
          Lama kelamaan masyarakat semakin berkembang sehingga mendorong untuk dibentuknya beberapa pemimpin yang mengatur rakyatnya dalam berbagai urusan, pemimpin disini oleh rakyatnya disebut “Petinggi yang dipercaya”, maka terbentuklah sebagai berikut :

  1. Embah Lurah Sutadikusumah ; yang bertugas dalam bidang kesejahteraan rakyat. jadi Lurah disini artinya pembimbing.
  2. Embah Wira Sutadikusumah ; bertugas menjaga keamanan, baik keamanan dari luar maupun di dalam masyarakat.
  3. Embah Patrakusumah; bertugas mengelola kesenian dan kebudayaan
  4. Embah Aji Kalangsumitra ; bertugas mengelola bidang hukum/peradilan.

Sedangkan Pimpinan Rombongan adalah bernama “Embah Panggung Jayadikusumah”, bertindak sebagai Pimpinan tertinggi atau bisa dibilang sebagai Raja.  Para pemimpin atau petinggi tersebut suka mengajarkan ilmu agar dalam kehidupan sehari-hari mendapat keselamatan, kebahagiaan, dan kalau sudah waktunya berpulang meninggalkan dunia mendapat tempat disisiNya.
Kehidupan disana rukun, tidak pernah ada yang saling menuduh atau saling menyalahkan, sangat patuh kepada apa yang dikatakan Pemimpin, dan iman serta taqwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.   Hidupnya aman, tenteram, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, repeh rapih, hurip gusti waras abdi.
Pada waktu itu tempat permukiman tersebut bisa juga dikatakan sebagai sebuah kerajaan kecil, orang tua menyebutnya tempat tersebut yaitu “Kerajaan Tanjung Wangi”  atau “ Lebakwangi”.
Masyarakat pada saat itu Kehidupannya makin lama makin maju/berkembang sampai termasyur ke daerah-daerah yang jauh.  Dari masa ke masa jumlah penduduknya terus berkembang sehingga wilayahnyapun menjadi luas (sekarang disebut : Batukarut, Baros, Bojongmanggu, Cikupa, Pameungpeuk, Baleendah, Dayeuhkolot, Banjaran).

Riwayat Gamelan Embah Bandong

Terkisah Pada suatu waktu Sang Raja Tanjung Wangi Embah Panggung Jayadikusumah didampingi oleh 4 orang kepercayaannya sengaja meluangkan waktu untuk memeriksa ke kampung-kampung.   Sampai ke suatu tiba-tiba keheranan manakala melihat ada sebidang tanah hunyur (bukit kecil di tanah dataran). Didorong penglihatan mata bathinnya yang tajam, Embah Panggung Jayadikusumah merasakan ada sesuatu di dalamnya. Maka, segeralah beliau memerintahkan para Kepercayaannya dengan dibantu warga sekitar untuk menggali tanah hunyur tersebut.
Upaya penggalian tanah hunyur pun segera dilakukan dengan memakan waktu sampai berhari-hari sampai pada akhirnya ditemukan seperangkat barang yang telah terbungkus tanah cukup tebal. Karena rasa penasaran, perangkat barang itu pun dibersihkan hampir selama 2 bulan. Ternyata barang yang ditemukan itu berupa seperangkat gamelan, terdiri dari 2 buah goong besar, bonang, rincik, saron, kecrek, beri dan barang-barang lainnya.
Perangkat gamelan yang masih utuh itu, setelah dicoba oleh ahlinya ternyata masih dapat difungsikan. Sejak itulah gamelan tersebut dijadikan tetabuhan mandiri bagi Kabuyutan Lebakwangi dan dijadikan barang pusaka yang terus dipelihara hingga sampai kini. Sesuai dengan jumlah 2 goong  yang yang posisinya berdampingan atau bandong, kemudian perangkat gamelan pun diberi nama Gamelan Embah Bandong.
Konon setelah ditemukannya gamelan tersebut, ditempat itu keluar mata air yang jernih, dan oleh Sang Raja tempat itu diberi nama “Cilurung”, bisa jadi kata Cilurung berasal dari bahasa Jawa/Kawi yang mengandung arti “ jalan kecil diantara jalan besar, karena pada kenyataannya demikian keadaannya.

Gamelan Embah Bandong  bukan semata-mata alat hiburan saja, melainkan juga sebagai barang pusaka, maka dalam penggunaannyapun tidak sembarangan, gamelan tersebut hanya dimainkan setauh sekali pada setiap tanggal 14 Mulud dalam rangka memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW, atau pada upacara-upacara kenegaraan, serta upacara selamatan adat seperti : pernikahan dan sunatan.  Selain dari kegiatan tersebut tidak diperbolehkan untuk dimainkan.   Menurut cerita Sesepuh dulu Gamelan Embah bandong ini pernah dimainkan pada setiap acara pelantikan Bupati, diantaranya Bupati Bandung pertama, Tumenggung Wira Angun Angun pada tahun 1641 – 1681, Bupati ke dua s/d Bupati ke 14 pada tahun 1947.
Tata cara memainkan (menabuh) Gamelanpun agak berbeda dengan gamelan sekarang, memainkan Gamelan Embang Bandong diawali dengan dipukulnya 2 Gong besar dulu, lalu diikuti dengan gamelan lainnya.
Lagu-lagu yang biasa dimainkan oleh Gamelan Embah Bandong “jejerna” ada 17 lagu, yaitu : Sodor, Seseregan, Ganggong, Gonjing patala, Asmarandana, Pangkur, Maleber, Pucung lingkup, Boyong, Galumpit, Magatru, Papandanan, Bujang anom, Angin-angin, Bango, Galatik nunut dan Joher.

Putra Mahkota Kerajaan Banten berguru ke Tanjung Wangi

Terkisah di wilayah barat yaitu daerah Banten, ada suatu kerajaan kecil, Rajanya mempunyai putra lelaki yang akan menggantikan raja (Putra Mahkota).   Pemuda yang dalam keadaan “buta tulang buta daging” menyadari bahwa dirinya kelak dikemudian hari akan menggantikan raja, mengelola negara, ia senantiasa mempersiapkan diri sejak dini mencari ilmu dan pengalaman, para pemilik ilmu didatanginya, bahkan sering berpuasa sambil bertapa di tempat yang dianggap berkeramat, tafakur dan bersemedi kepada Yang Mahasuci untuk mendapat ilham. 
Sang Pemuda merasa dirinya sudah penuh ilmu bahkan menurut cerita tak ada seorangpun yang berani melawannya, ia sangat kuat, tubuhnya tak mempan kena tusukan senjata apapun, sehingga ia berkeliling mengembara ke daerah-daerah lain, melewati gunung-gunung untuk mencari lawan, dan ia bilang bahwa ia belum pernah melihat darahnya sendiri, ia ingin melihat darahnya sendiri.
Konon pada suatu waktu disaat ia sedang bersemedi di suatu gunung (menurut cerita bersemedinya hingga belasan tahun) terdengar ada suara gaib yang berisi petunjuk yaitu : “…seandainya kamu ingin melihat darahmu sendiri, cepat kunjungi ke sebelah timur, disana akan bertemu dengan seorang Raja yang Sakti Mandraguna, waspada permana tingal, dan orang itulah yang pantas kamu jadikan sebagai Gurumu, guru lahir dan bathin, dunia dan akhirat…”.
Setelah menerima ilham tersebut maka ia keluar dari pertapaannya, dan langsung menuju ke arah Timur melewati gunung-gunung hingga pada akhirnya tiba di wilayah Kerajaan Tanjung Wangi.
Terkisah di daerah Tanjung Wangi, petinggi di Tanjung Wangi tidak begitu heran ketika datangnya pemuda tersebut, mengingat petinggi Tanjung wangi  berilmu tinggi, sebenarnya ia sudah tahu sebelumnya akan kedatangan pemuda tersebut.   Sang Pemuda memperkenalkan diri serta menyampaikan beberapa pertanyaan kepada pribumi yang saat itu nampaknya sudah kelihatan kakek kakek.  Kata Sang Pemuda : ” Kek, saya dari daerah Barat, nama saya Manggung Dikusumah, ini kampung apa dan kalau negara, negara apa namanya, siapa rajanya dan bagaimana kesaktiannya?  Sang pribumi pun menjawab dengan tenang : “ini perkampungan namanya Tanjung wangi, yang dipimpin oleh seorang raja, yang berasal bukan dari golongan ningrat bukan juga dari rakyat jelata, beliau bukan orang kuat juga bukan orang lemah, karena dibilang rakyat jelata tapi dia keturunan ningrat, dibilang pinter tapi bodo, dibilang bodo tapi ngerti, dibilang keras tapi lembek, kesemuanya itu tergantung orang yang menyebutnya.   Dengan jawaban Sang pribumi demikian, Sang Pemuda atau yang bernama Manggung Jayadikusumah hatinya merasa terpukul dan selanjutnya ia meminta diperkenalkan dengan Sang Raja.   Sang pribumi menyanggupinya asalkan dengan syarat harus bisa mengambil dulu mutiara yang ada di dasar Telaga Bandung.
Manggung Jayadikusumah menyanggupinya dan langsung saat itu juga ia meloncat ke arah Talaga yang saat itu tampak olehnya ada cahaya yang bersinar di sekitar Telaga, ia menyelam ke dasar telaga untuk mengambil mutiara dimaksud.  Namun setiap ia mendekat ke arah mutiara tersebut, setiap itu pula mutiaranya malah menjauh, sang pemuda terus berusaha mengejar-ngejar mutiara tersebut namun belum berhasil ia dapatkan.  Lama kelamaan itu mutiara berubah wujud menjadi hewan “ Biul” sejodo (Biul = sejenis burung waliwis).   Sama seperti tadi setiap ia mau menangkapnya, kedua hewan tadi menjauhnya, demikian seterusnya sampai-sampai itu air telaga yang semula jernih berubah menjadi keruh akibat “diubek-ubek” oleh Sang pemuda.
Begitulah berkali-kali kejadiannya dan akhirnya sang pemuda merasa lemas tidak berhasil mendapatkannya, akhirnya naik ke daratan, hatinya kecewa belum terlaksana yang diinginkannya.   Sambil merenung munculah akal akan membuat “bandrong” (jala) untuk menangkap kedua hewan tadi.  Sang pemuda bergegas mencari rotan yang ada disekeliling talaga, tidak sulit mendapatkannya karena dihutan rotan banyak, lalu menarik rotan (areuy) dan dibuatlah jala, sedangkan untuk bebannya diambilkan batu-batu yang berserakan bekas gunung meletus.  Setelah selesai membuat jala, Biul yang sedang berenang langsung disergap, kata hatinya hewan itu pasti dapat, begitu ditarik ternyata tidak didapatkannya, demikian saja kerjanya sang pemuda tersebut berusaha menangkap hewan Biul tersebut, sampai hewan biul pun menghilang.   Nafsu amarahnya tak tertahankan merasa dipermainkan oleh hewan kecil, sehingga ia lupa akan dirinya, jalanya dirusak dan dilemparkannya sehingga  berantakan, ada yang jatuh didekatnya, juga yang jatuh jauh darinya.  Konon katanya tempat bekas batu jala yang terikat oleh akar (areuy) tersebut, akhirnya diberi nama menjadi “Batukarut” yang asalnya dari “batu” yang “dikarut” ( dikarut= diikat).
Kembali ke cerita tadi, setelah sang pemuda melempar jalanya, ia lalu melihat ke arah telaga tadi sambil terheran-heran karena ditempat menghilangnya biul tadi tiba-tiba muncul seorang kakek dan nenek yang tiada lain Sang pribumi tadi.   Betapa tambah marahnya sang Pemuda alias Manggung Jayadikusumah, ia merasa dipermainkan oleh Sang kakek, sambil menghampirinya lalu ia berkata sesumbar : “hai… aki-aki peot, kamu mempermainkan saya, mentang-mentang kamu bisa berubah wujud, apa kamu kira aku juga tidak bisa begitu, kalau begitu kamu mau menguji kesaktian saya, saya tantang kamu untuk bertarung sengan saya, mau kapan ?, sekarangpun saya siap menghadapimu.   Demikian sesumbarnya  sang pemuda, yang kemudian dijawab oleh sang pribumi : “Ya, baiklah kalau begitu, akan saya ladeni tantanganmu”.
Pertarungan antara kedua orang tersebut berlangsung lama, maklum keduanya pada memiliki ilmu yang tinggi, meskipun kalau dilihat dari sisi penampilan fisik agak berbeda, yang satu remaja yang satu lagi kakek-kakek, tapi dalam hal ilmu “kanuragan” keduanya tidak jauh berbeda.  Konon menurut cerita pertarungannya hingga 7 hari 7 malam, keduanya mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya, bahkan pertarungan yang semula tangan kosong sudah berubah menjadi menggunakan senjata masing-masing, tak heran banyak pepohonan yang tumbang tergilas oleh para petarung, hewan-hewan pada berhamburan, demikian juga sering terdengar suara-suara benturan senjata yang diiringi kilapan cahaya, hingga pada akhirnya pada hari ke 7 tampak sang pribumi mulai terseret oleh sang pemuda, sampai pada suatu saat ketika sang pribumi lengah, senjata sang pemuda melibas wajah sang pribumi yang akhirnya menurut cerita pelipis sang pribumi tergores senjata hingga berdarah.   Dengan kondisi yang demikian akhirnya sang pribumi berusaha banyak menghindar dari serangan-serangan sang pemuda sambil mencari-cari tempat bersembunyi untuk memulihkan tenaga.   Menurut cerita sang pribumi menemukan satu tempat “saung” di suatu kebun yang ditempati oleh 2 orang kakek dan nenek petani, lalu ia menghampirinya.  Nenek dan kakek tersebut merasa heran kedatangan tamu dari kalangan petinggi negara, lalu ia menyambutnya sambil menyuguhkan makanan seadanya antara lain : air kopi pahit dan ”beuleum cau kapas” di taburi gula kawung.
Ringkas cerita atas berkat pertolongan yang Mahakuasa, setelah memakan dan minum suguhan dari kakek dan nenek tadi, sang tamu menjadi merasa pulih kembali tenaganya, malahan merasa lebih segar bugar dibanding keadaan semula sebelum bertarung.  Kakek dan nenek itu tidak tahu keadaan yang sebenarnya bahwa sang tamu sebenarnya sedang bertarung memperebutkan nyawa, karena memang sang tamu sangat bijaksana ia tidak mencerikan keadaan yang sebenarnya.   Sampai akhirnya sang tamu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya dan mengucapkan terima kasih kepada kakek dan nenek tersebut.
Tempat kakek dan nenek tadi sekarang dinamakan “Buni Sakti’ terletak di perbatasan Desa Lebakwangi dengan Desa Bojongmanggu.
Kembali ke cerita tadi setelah berpamitan sang tamu akhirnya kembali menemui sang pemuda untuk melanjutkan lagi pertarungannya, dan terjadilah pertarungan yang makin sengit, namun dalam kesempatan pertarungan ini tampak sang pribumi lebih unggul daripada sang pemuda, sang pribumi tampak lebih gagah, bertenaga bagaikan banteng yang mengamuk, pepohonan pada tumbang, bunyi senjata dan cahaya akibat benturan senjata berkilauan, bumi serasa bergoyang saking serunya pertarungan tersebut.  Ringkasnya cerita akhirnya sang pemuda keteter sehingga ia terjatuh dipangkuan sang pribumi, sambil ia berkata : “ Nun pangersa sembaheun kula, tetela salira teh luhung elmu jembar panalar, sugih ku pangarti, waspada permana tingal, raja pinandita anu pantes ku kula dipiguru lahir bathin dunya akherat” sekarang saya sudah bisa melihat darah sendiri akibat senjatamu, mohon kakek bersaksi bahwa : “saya dan tujuh turunan saya bersumpah tidak akan berani melawan kakek dan keturunannya, dimanapun berada, dan semoga bumi alam dapat menyaksikan pula sumpah saya ini.
Ringkasnya cerita begitu selesai sang pemuda mengucapkan sumpahnya tiba-tiba bumi bergetar, diiringi bunyi petir di siang bolong, disertai angin kencang, dan kilat serta gemuruhnya hujan turun.  Ini pertanda bahwa bumi alam dan sekelilingnya turut bersaksi atas sumpah pemuda tadi.
Sang pribumi menyampaikan kata maaf kepada pemuda tadi atas segala kesalahan dan kehilafannya dan sang pribumi mengatakan bahwa sejak saat ini sang pemuda sah/resmi diangkat menjadi muridnya.
Menurut cerita sang pemuda yang semula bernama Embah Manggung Dikusumah, diganti menjadi “Embah Bandrong Bandung Bandang Wasa”  yang memiliki makna : “ Tina lalampahan ngagunakeun heurap gede (bandrong), waktu ngaheurap biul di Talaga Bandung, terus kabandang ku pangawasana kersa luluhur Tanjung wangi tug dugi ka akhir hayat”.
Ringkasnya cerita pada suatu kesempatan sang pribumi yang tiada lain adalah raja Tanjung wangi Embah Panggung Jayadikusumah menyampaikan amanat kepada ke 4 kepercayaannya, bahwa senjata yang 5 macam itu bekas pertarungan dengan sang pemuda alias Embah Manggung Dikusumah alias Embah Bandrong Bandung Bandang Wasa, segera dibersihkan dan selanjutnya disimpan dengan cara dibungkus masing-masing senjata dengan kain kafan sebanyak 5 rangkap, selanjutnya dari kelima senjata tadi digabungkan dan dibungkus kembali dengan kain kafan sebanyak 7 rangkap, dan terakhir diikat dengan 3 tali dari kain kafan tersebut masing-masing di bagian ujung dan ujung serta di tengah-tengah, mirip seperti mengkafani mayat. Dan sejak saat ini ke lima senjata itu jangan diapa-apakan lagi, simpan saja sebagai bahan “guareun jeung lenyepaneun seuweu siwi di akhir”.  Dan tolong terhadap pusaka yang satu ini yaitu “Sumbul” jangan pernah ada yang berani membukanya, karena hanya orang yang “ Wawuh di semuna nu suci galihna, nu setra manahna, nu rancage hatena nu bakal bisa nerangkeun eusi eta Sumbul”.

Ringkasnya cerita setelah Mbah Panggung Jayadikusumah menyampaikan amanatnya, beliau terus pindah ke Gunung Anday untuk menyepi menghadap kepada yang Mahakuasa.   Sedangkan yang dipercaya untuk mengurus Rumah adat yang sekarang ada di Kabuyutan tersebut diserahkan kepada Embah Manggung Dikusumah, ditemani oleh 4 orang kepercayaan Embah Panggung Jayadikusumah.  Oleh karena Embah Manggung Dikusumah sudah dipercaya untuk merawat pusaka dan gamelan di Bumi Alit Kabuyutan tadi, maka akhirnya Embah Manggung Jayadikusumah diberi gelar “Embah Bandong”.
Selama bertahun-tahun Raja Tanjung Wangi Embah Panggung Jayadikusumah bersemedi di Gunung Anday, banyak macam-macam ilham yang diterimanya dari yang Mahakuasa, kemudian disampaikannya kepada 4 orang kepercayaannya, selanjutnya dari ke 4 orang kepercayaannya tadi disampaikan kembali kepada Embah Bandong untuk selanjutnya disampaikan kepada seuweu siwi Lebakwangi Batukarut.  Adapun pesan atau amanat dari Sang Raja tidak secara terbuka dalam bentuk yang mudah dicerna, namun beliau mengamanatkan berupa “silih atanapi siloka”, simbol atau arti kiasan, seperti halnya antara lain :
1.    Tidak boleh Naik Haji, bila belum siap
2.    Tidak boleh memelihara kuda yang berwarna abu
3.    Tidak boleh memelihara kuda yang berwarna tembaga
4.    Tidak boleh memelihara kerbau berwarna merah
5.    Tidak boleh menebang pepohonan di daerah mata air
6.    Tidak boleh membangun rumah gedongan
7.    Tidak boleh membuat pondasi rumah dari batu dan suhunan pondok
Amanat-amanat tadi bukanlah arti yang sebenarnya, tetapi mengandung makna yang mendalam untuk menjadi panduan hidup kita sehari-hari.
Setelah Embah Panggung Jayadikusumah mencapai akhir hayatnya, konon kata sesepuh disebut “Tilem”, yang tinggal hanya wujud maqomnya (petilasannya).  Menurut cerita entah berapa puluh atau ratus tahun setelah Embah Panggung Jayadikusumah tilem, ke 4 orang kepercayaannyapun sama-sama tilem, yang hingga sampai sekarang petilasannya ada di Gunung Andaya Sakti atau Gunung Alit :
Terdapat 6 maqom disana, yaitu :
1.    Maqom Embah Lurah Sutadikusumah, dan Embah Wira Sutadikusumah, terletak di paling bawah gunung
2.    Maqom Embah Patra Kusumah, dan Embah Aji Kalangsumitra, berada ditengah-tengah gunung
3.    Maqom Embah Panggung Jayadikusumah, yang terletak dipuncak gunung.
Menurut para orang tua, bekas rumahnya sekarang disebut “Bumi Alit Kabuyutan”, disana dipakai untuk menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, seperti :
1.    Sumbul, yang digantungkan
2.    Gobang, keris, pedang, badi, dan kujang
Para generasi penerus keturunan leluhur Lebakwangi Batukarut atau yang disebut “Seuweu Siwi” hingga sekarang masih melestarikan barang-barang pusaka peninggalannya, serta setiap tahun dipeliharanya dalam suatu rangkaian acara yang dinamakan “Ngarumat Barang Pusaka” yang biasa dilaksanakan pada setiap tanggal 12 Mulud setiap tahunnya.
 Tempat menyimpan benda pusaka tersebut atau Bumi Alit Kabuyutan sudah diakui keberadaanya oleh Pemerintah Daerah dan sudah dikategorikan sebagai Cagar Budaya yang harus dijaga dan dilestarikan oleh siapapun.


Sumber :
  1. Buku Nyukcruk Galur Mapay Raratan Riwayat Lebakwangi-Batukarut, karya Drs. H.A. Ii Danya yang diterbitkan oleh Sasaka Waruga Pusaka, tahun 1994.
  2. Hasil wawancara dengan H. Uko Rukanda (alm) pada tanggal 15 November 1997 oleh Drajat Sudrajat, SPd.

  Untuk menambah wawasan tentang Sejarah Barang Pusaka, dan sejarah Lebakwangi Batukarut, berikut ini saya cuplik sebuah tulisan H. Itang Wismana 



SEJARAH GOONG RENTENG LEBAKWANGI-BATUKARUT
KECAMATAN ARJASARI KABUPATEN BANDUNG

Oleh : Itang bin Adjud (www.wismanaerawan.wordpress.com)

Cerita dimulai dengan terjadinya letusan gunung api Sunda yang besar serta tingginya mencakar langit, tiba-tiba meletus, getaran yang menyebabkan terjadinya angin puting beliung yang mengacak-acak disertai gelegarnya letusan gunung yang menjangkau hingga jarak jauh disertai getaran tanah yang dasyat (gempa) menyebabkan tanah Sunda berubah keadaannya sangat mengerikan seibarat mau kiamat, dapat kita bayangkan, bagaimana dasyatnya malapetaka ketika itu karena yang meletus bukan gunung-gunungan tapi gunung sebagai pakunya bumi. Setelah sekian lama gempabumi berhenti, serta langit berangsur terang, sisa gunung berangsur mulai nampak jelas terlihat hancur bagaikan nasi tumpeng yang acak-acakan. pinggirannya berupa dinding yang berdiri terjal batunya berkilauan dan berasap, warna batu beraneka ragam, rupanya warna hitam, abu-abu, merah campur putih, kuning, lembahnya beribu-ribu, ujung tanjung berpuluh-puluh, punggungan berselang dengan batang kayu yang roboh berserakan, membuat ngeri yang melihat, tidak ada tanda-tanda kehidupan, sepi tiada bandingnya, setahun, sewindu waktu berlalu, pohon-pohon mulai tumbuh lagi, badan gunung yang hancur mulai tergenang air, sehingga kawah di tengah-tengah gunung semakin lama semakin keras, kemudian menyumbat pusat kawah, kawah gunung bagaikan kuali besar dapat menampung air hujan, makin lama makin tergenang, jadilah sebuah danau, airnya meluas hingga sejauh mata memandang, dindingnya lama-lama banyak yang berubah sifat, di mana-mana banyak muara alur air makin lama menjadi sungai. Bagian selatan dan tenggara tidak mengalami kerusakan yang berat, menurut ukuran ketika itu, hanya mengalami retak-retak dan tanah ablas di mana-mana, sehingga pinggiran danau agak landai, bagian selatan tanahnya miring dari selatan ke utara dan yang di utara miring ke selatan, makin lama makin lebar, dataran tersebut disebut Malabar.sesuai dengan keadaan yang melebar ke utara-selatan.
Suatu malam yang sunyi senyap, di langit bertebaran bintang-bintang, bagaikan kilat dari langit ada cahaya, seperti meteor meluncur jatuh di air telaga tidak jauh dari daratan yang mulai ditumbuhi pohon-pohon, air telaga yang tenang menjadi timbul riak gelombang makin melebar luas, serta riaknya aneh, menimbulkan 5 rupa warna serta lingkarannya ada 27, gelombangnya saling susul meluas memenuhi permukaan air, ke utara, timur serta ke-barat tetapi ke selatan tidak menerus karena tertahan daratan, kalau siang hari di tempat jatuhnya barang (“yang bercahaya”) tidak Nampak keanehannya, tetapi kalau malam hari keanehan Nampak silih berganti, begitulah menurut yang punya cerita. Suatu malam ketika purnama sedang terang benderang, keadaan sekitar telaga/danau hiyang sangat sepi, ada cahaya yang berkelebat di tempat jatuhnya barang tadi ada cahaya yang melesat ke langit, kemudian cahaya yang melesat itu melengkung dan kembali lagi ke bawah, dari cahaya tersebut mengeluarkan cahaya 5 warna berkilauan dan membentuk lingkaran agak lonjong, gebyar cahaya yang lonjong itu mengeluarkan cahaya menerangi permukaan air telaga mengimbangi sinar bulan purnama, ketika cahaya tersebut padam nampak ada yang mekar di atas air, bunga Tunjung yang sangat bagus/indah menghiasi “telaga hiyang” daun bunganya ada 9 lembar beraneka warna, mekar di tangkainya, di bawah tangkai bunga ada daunnya, tebal, lebar hijau bagai beludru, semuanya ada 7 lembar yang paling aneh di tengah-tengah bunga yang sedang mekar ada yang sedang bersemedi berpakaian serba putih, ketika mendekati pagi hari bunga Tunjungpun kuncup, yang semedi terbungkus kuncupnya Tunjung, tidak Nampak sedikitpun, kalau ada angin sepoi-sepoi, bunga Tunjungpun ikut bergoyang mengimbangi angin..
Tersebutlah ke tempat pelataran tersebut ada yang datang suami istri untuk menjadi penghuninya, dari mana asalnya tidak ada yang tahu, melihat penampilan keduanya sangat tegap, santun menandakan berilmu, datangnya seperti yang sengaja hendak bertapa, bikin padepokan pinggir telaga, kalau malam nyepi sedangkan siangnya bertani, karena tanahnya subur sehingga tanamannya juga tumbuh subur, membuat bahagia yang sedang bertapa. Sudah kehendak yang maha kuasa yang bertapa menerima wangsit tentang bunga Tunjung. Akhirnya bunga Tunjung itu dipetik sesuai dengan wangsit, dikemas, serta ditempatkan pada sumbul di dalam “kukumbung”.
Yang bertapa selesai tapanya, pohon Tunjungpun menghilang dari telaga sehingga bekas pohonnya diberi tanda dengan  “talutug” supaya tidak lupa. Yang bertapa tidak meninggalkan tempatnya bahkan menjadi penghuni tempat tersebut, dengan bertambahnya pendatang sehingga tempat tersebut di pelihara dan dibenahi sehingga menjadi Negara, nama Negara mengambil nama bunga aneh yang disebut “Tunjungwangi” sedang yang menjadi raja yaitu orang yang menerima wangsit tadi, begitu menurut ceritera.
Tersebut dalam ceritera, di Ujungkulon pinggir Sungai Sunda, ada Negara yang menjadi rajanya Pandita Lalanangjagat, ilmunya sakti, tenaganya kuat, mempunyai seorang anak laki-laki, jejaka gagah sakti mandraguna, kebiasaannya bertapa, diceriterakan, jejaka ahli bertapa lagi semedi di ujung daratan pada batukarang di muara Sungai selama bertahun-tahun, ketika bertapa jejaka tersebut mendapat wangsit, setelah selesai bertapanya jejaka pulang hendak menemui ayahnya untuk membicarakan hasil bertapanya, ayah dan anak sudah saling berhadapan dan membicarakan tentang wangsit (ilmu), keduanya sama-sama bingungnya, sama-sama tidak tahu keduanya tidak dapat membuka isi wangsit tersebut. menurut ceritera keduanya sama-sama penasaran yang mendalam dan membuat gelisah keduanya,sehingga ayah dan anak keduanya sakit, bingung oleh isi siloka (wangsit) hasil bertapa, apa isi/maksud dari siloka. Akhirnya ayahnya menugaskan anaknya pergi untuk mencari tahu maksud dari siloka, dan tidak boleh pulang kalau maksud siloka tersebut belum didapat, yang ditugaskan mengangguk tanda sanggup, karena selalu taat perintah orang tua, seketika itu juga berangkatlah jejaka tersebut.
Pada suatu malam ketika bulan setengah terang  Pupuhu negara Tunjung beserta istri sedang tapakur di Balekambang, dalam tapakurnya beliau mendapat wangsit bahwa suatu ketika kelak akan datang jejaka yang akan menjadi jalan cerita, selain beliau berdua akan datang para pemimpin-pemimpin penting, karena itu kita harus siap-siap untuk menyambutnya begitulah pembicaraan kedua orang tua tersebut.
Diceritakan, jejaka yang diberi tugas mampir dulu di tempatnya bertapa untuk menguatkan niat dan berdoa,setelah berdoa berangkatlah jejaka tersebut sambil membawa pedang saktinya, setelah mencari ke utara, selatan, timur dan ke barat,  singkat cerita setelah tidak berhasil mendapatkan yang dicari, kemudian menuju ke bagian tengah, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita, sunyi senyap, jejaka tersebut kaget, dalam hatinya berkata, tanda apa gerangan, karena cape setelah berjalan sekian lama, jejaka tersebut  istirahat dan bersandar pada pohon kemudian tidur nyenyak.
Diceritakan kembali suami istri yang punya cerita, saat itu keduanya sedang menanti kedatangan jejaka, yang dinanti tak kunjung datang, hawatir mendapat  musibah, sehingga keduanya memutuskan untuk menjemput jejaka yang dinantinya, karena keduanya berilmu tinggi seketika itu juga sampailah ke tempat yang dituju, tempat istirahatnya jejaka yang dinanti, kemudian berbicara, keterima sama jejaka tersebut dalam mimpinya, hey jejaka, jangan sampai kamu bermalas-malasan, karena kamu sedang mendapat tugas, kalau begitu caranya, kamu tidak akan ketemu dengan “siloka” yang kamu cari, jangan membuang-buang waktu, bisa-bisa kamu akan mendapat hukuman. Kamu harus jalan ke hulu, nanti kalau kamu sudah sampai di telaga hyang, disitulah adanya yang kamu cari, untuk mendapatkan yang kamu cari, tidak boleh putus asa, harus tekun dan telaten, harus ikhlas, jangan ragu-ragu,  untuk itu kamu harus membuat “jala” dulu yang besar yang bisa menutupi luasnya telaga hyang dan kamu harus memakai nama sesuai dengan nama “jala” tersebut, untuk mengenangnya, semoga selamat, begitulah kedua suami istri berpesan, kemudian keduanya kembali ke pakuwon semula.
Jejaka terbangun, setelah nengok ke sekelilingnya, berangkatlah jejaka tersebut menuju tempat sesuai petunjuk dalam mimpinya, setibanya di tempat tujuan berhentilah jejaka tersebut dan menatap jauh keadaan sekelilingnya, di selatan nampak terlihat ada cahaya yang memancar ke angkasa tepatnya di tengah-tengah kumpulan pegunungan, pasti disitu, berkata dalam hatinya, sambil mengingat kembali mimpinya, diambilnya pedang kemudian dipakai membabad rotan yang ada di sekitarnya untuk membuat “jala”
Tanpa pilih-pilih, semua pohon dibabad sehingga tidak meninggalkan satupun pohon yang berdiri, setelah mengumpulkan rotan kemudian istirahat sejenak. Untuk pemberat jala menggunakan batu, kemudian membuat “beuti cariang”,membuat “barera dengan “sumbinya“, setelah selesai kemudian istirahat, selesai istirahat  jejaka kaget karena  kehilangan “sumbinya” yang sudah dibuat tadi, dicarinya tapi tidak juga ketemu, hatinya sangat kecewa,tapi ingat pada pesan dalam mimpinya, marahnya tidak jadi, kemudian membuat lagi “ beuti cariang” lagi, singkat cerita, rotan yang bagaikan gunung banyaknya habis di buat “jala”, sebelum menggunakan jala, jejaka tersebut berdo,a mohon petunjuk supaya kerjanya menghasilkan apa yang diharapkan sambil menamakan dirinya Bandrong Bandung Bandang Wasa, sesuai dengan pekerjaannya.
Dalam cerita kedua suami istri tersebut mengetahui, jejaka sudah selesai membuat “jala”nya bahkan sedang menunggu waktunya untuk memulai pekerjaannya, tetapi keduanya bermaksud ingin mencoba jejaka tersebut, sehingga dalam cerita kedua suami istri tersebut berubah wujud menjadi “biul” (lisang), kedua”biul” berenang kesana – kemari, sewaktu-waktu menyelam ke dasar telaga. Sambil menunggu kedatangan jejaka.
Jejaka yang sedang bertapa, selesai tapanya, kemudian akan memulai dengan pekerjaannya, diambilnya jala buatannya sendiri yang bertumpuk yang besarnya bagaikan  bukit. “jala” diangkat ke pundaknya, batunya bergelantungan, sebelum melangkah jejaka tersebut menatap jauh ke sekitarnya memandang bekas perjalanannya. Ketika memandang ke arah barat, jejaka tersebut kaget, ingat kampung halaman dan ayahnya sehingga hampir mengganggu niatnya, dengan keyakinannya yang kuat, jejaka malanjutkan niatnya menuju ke selatan untuk menuju tempat cahaya yang bersinar dari dasar telaga, dengan penuh keberanian jejaka tersebut sampailah pada tempat yang dituju, kemudian membersihkan diri dulu, berdo’a dan minta ijin sama penghuni telaga dan menyampaikan maksud tujuan datang ke telaga, kemudian mencari tempat untuknya berdo’a. kedua “biul” setelah tahu jejaka yang ditunggu datang kemudian berenang mendekati jejaka tersebut kemudian menggoda jejaka yang sedang bertapa, tetapi yang bertapa tidak tergoda, melihat jejaka bangun dari tapanya, kedua biul tersebut menyelam ke dasar telaga tetapi jejaka melihat riak air telaga bekasnya biul nyelam, dalam hatinya jejaka berkata; yang dicari akan didapatkan, kemudian diambilnya jala dan siap-siap bagaikan mau menjala ikan. Kedua biul tadi muncul lagi ke permukaan telaga dengan maksud mau melihat jejaka yang sedang bertapa tadi, ketika muncul ke permukaan telaga nampak jejaka  sedang siap-siap mau menebar jala, kedua biul tersebut cepat-cepat menyelam lagi ke dasar telaga, bersamaan dengan dilemparnya jala oleh jejaka, terdengar sura jala yang ditebar bagaikan suara badai, kemudian jala ditarik, tapi tetap tidak dapat hasil, demikian cerita yang menjala dengan yang menggoda, napsunya jejaka yang menjala sudah tidak sabar lagi, biul terus dikejar dengan jala, tetap tidak berhasil, malah makin bertambah menggodanya, jejaka makin kepayahan, luasnya telaga sudah diuber hingga airnya keruh, wajah jejaka makin memerah pertanda marah yang tidak terhingga. Tenaga jejaka yang melempar jala makin kuat sehingga batu pemberat jala banyak yang lepas terlempar dengan ikatannya, demikian juga ketika menarik jala, banyak batunya yang ketinggalan, yang dikemudian hari kalau telaga sudah kering akan ditemukan batu-batu tersebut. Air telaga tumpah ke sebelah barat laut sekalian dijebol supaya telaga lekas surut airnya, sehingga bagian selatan telaga menjadi daratan dan makin meluas. Yang menjala sudah kepayahan dan pusing menghadapi tingkah lakunya “biul”. Sehingga ‘biul dikejar dengan menggunakan pedangnya, tidak diberi kesempatan lolos, biul hamper kewalahan dan hampir tertangkap. Karena dalam air, biul masih bisa menghindar dengan lincahnya, jejaka makin kepayahan, biul melarikan diri berenang ke arah selatan kemudian berubah wujub kembali ke asal, berdiri di pinggir telaga dengan maksud mau menjemput yang mengejar, yang mengejar dengan kemarahan yang tidak terhingga, ketika jejaka melihat yang hendak menjemput, tiba-tiba terjadi pertarungan, keduanya sama kuat, lamanya bertarung tidak diketahui. Diceritakan dengan berjalannya waktu, keduanya sudah berhenti bertarung, tidak diceritakan siapa yang kalah dan siapa yang menang, dikisahkan keduanya sudah berdamai, dan jejakapun mendapat ilmu dari orang tua di Tunjungwangi yang menjadi kepala Negara, kemudian diberitahukan isi “siloka” hasil jejaka bertapa, yang menjadi harapan hidupnya.
Suatu ketika ke tiganya berkumpul di Balekambang tempatnya nyepi, sambil mebicarakan tentang ilmu penuntun hidup, ketiganya sudah saling memahami, jaka Bandrong inget akan ayahnya di kampung halaman, yang menugaskan dia berangkat untuk mencari arti siloka hasilnya bertapa, jejaka mohon ijin pulang dulu ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya, setelah mendapat ijin, berangkatlah jejaka tersebut, tetapi sambil diberi tugas sebagai syarat: kalau tiba waktunya kembali ke Negara Tunjung, sepanjang perjalanan harus sambil tanam pohon sebagai tanda kelak manjadi nama Negara, wajah jejaka nampak bahagia karena yang menjadi kepenasaran hatinya sudah didapatkan
Singkat cerita, sekembalinya jejaka dari menemui ayahnya sampailah di Balekambang  Tunjung dengan membawa cindera mata dari ayahnya berupa seperangkat gamelan goong renteng. Demikian cerita mengenai asal – usul adanya gamelan goong renteng Kabuyutan di desa Lebakwangi-Batukarut, Kecamatan Arjasari. Walahu alam bi sawab.
Catatan.
Cerita asal ditulis dalam bahasa sunda,dengan judul Sejarah Goong renteng Lebakwangi-Batukarut, karya Bapak Adjud Erawan, penterjemah mohon dimaklum dan maap bila alih bahasa tidak tepat.

7 komentar:

  1. Agen Club36Bet handal dan terbesar poker online di Indonesia.
    uang Asli.Club36Bet Semua game bisa dimainkan.
    Hanya satu ID pengguna.
    Deposit: 25.000, - dan penarikan dana : 50.000, -.
    Anda dapat bergabung dengan jutaan kesempatan untuk bermain dan menang.
    Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di situs resmi kami atau dapat Club36Bet.
    Hubungi kami melalui LiveChat dan bahan bakar untuk melayani Anda 24 jam nonstop.
    Website:club36bet.com
    BBM: D8C8DB2F
    Whatsapp: +6282246921168
    Klasifikasi: club36bet
    WeChat: CLUB36BET
    Nikmat Promo Bonus:
    Bonus 10% Club36Bet semua permainan
    ROLLINGAN poker dan DOMINO 0,3%
    Bonus Cash Back SABUNGAYAM 5%
    Bonus ROLLINGAN LIVECASINO 0,8%
    Bonus 5% bonus cashback Slot game.
    bonus deposit 100% (Olahraga).
    Sportbook bonus hingga 25%
    2% referral bonus

    BalasHapus
  2. Mantap sejarah yang patut di lestarikan

    BalasHapus
  3. Kelengkapan sejarah kebuyutan bumi alit bandung ada pada sejarah kebuyutan blandongan gunung kumbang dan saya ucapkan terimakasih kepada penulis sejarah kebuyutan bumi alit bandung yang sudah melengkapi sejarah kebuyutan bumi sagandu gunung kumbang.

    BalasHapus
  4. Sejarah kebuyutan tersebut menceritakan orang yang sama.

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah... Kanggo wawasan sareng langkung mikareueus lembur.

    BalasHapus
  6. Assalamualaikum..... Sejarah Kebuyutan lebak wangi/tunjung wangi bandung beserta cerita gong rentengnya sejarah Kebuyutan gunung kumbang, sejarah sembilan ki buyut cirebon,sejarah desa cimulya dan sejarah ratu tujuh gunung kumbang ,sejarah gunung salak,sejarah pembuatan keris naga runting itu semua memperlihatkan perjalanan perabu siliwangi menuju jalan agama islam dan bisa membuka pangsit siliwangi insa allah sudah lengkap.
    Namun walaupun begitu kita harus mencari tempat tersebut namun sudah jelas di sebutkan tempatnya.
    Salam santun

    BalasHapus
  7. Dalam sejarah gunung kumbang di sebutkan bahwa pemuda dari banten atau dari barat dari ujung kulon itu sebenarnya nama lain dari kian santang jadi cerita sejarah tersebut sengaja di buat dan cerita sejarahnya di ceritakan sebagian-sebagian di tiap-tiap wilayahnya.

    BalasHapus